oleh

Pariwisata Bali Harus Dikelola Terintegrasi dengan Keterlibatan Stakeholder

INBISNIS.ID, DENPASAR – Kejadian beberapa hari lalu di kawasan objek wisata. Dimana wisatawan melakukan perbuatan tidak etis berupa mengambil foto bugil di pohon keramat di objek wisata Kayu Putih, Desa Tua, Kabupaten Tabanan, Bali.

Telah memberikan pelajaran bagi pelaku pariwisata, pemerintah dan masyarakat Bali untuk mengevaluasi sistem tata kelola pariwisata agar menghindari kejadian serupa tidak terjadi kembali. Salah satunya dengan tata kelola pariwisata Bali yang terintegrasi dengan keterlibatan berbagai stakeholder yang terkait.

Hal ini disampaikan Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, Dr. I Wayan Suardana., SST.Par., M.Par, mengatakan bahwa pariwisata Bali yang berdasarkan budaya Bali dan dijiwai Agama Hindu. Pariwisata dikembangkan atas dasar pariwisata budaya, dimana setiap potensi wisata selalu ada budaya Bali. Dalam budaya tersebut banyak potensi yang berhubungan dengan tempat suci agama Hindu atau tempat-tempat yang disakralkan.

“Untuk itu ke depan tata kelola pariwisata Bali harus dikelola secara terintegrasi dengan keterlibatan berbagai stakeholder yang terkait. Wisatawan datang dengan berbagai motif dan pola perjalanan. Dalam sistem pariwisata, harus dilihat dari kedatangan di Bandara, melakukan kunjungan, dan sampai kembali ke negaranya,” ungkap I Wayan Suardana saat dihubungi melalui saluran telepon

Ia melanjutkan, semua titik interaksi pada sistem tersebut harus ada informasi yang jelas dan konsisten terhadap pariwisata Bali. Pemerintah menyiapkan payung hukum dan informasi yang jelas etika berwisata di Bali, pramuwisata dan pihak operator harus memiliki kompetensi komunikasi dan pengetahuan budaya Bali. Peran Desa Adat untuk melindungi wilayahnya menjadi sangat penting melalui informasi-informasi yang jelas.

Dalam hal ini semua elemen atau stakeholder pariwisata bertanggung jawab terhadap kesucian dan keutuhan budaya Bali. Karena Budaya Bali menjadi modal utama dalam pariwisata.  Desa Adat dan masyarakat lokal sebagai pemeran utama budaya tersebut, menjadi ujung tombak untuk membentengi budaya lokal.

“Pemerintah harus tegas melakukan penindakan atau penerapan aturan dalam pelanggaran etika. contoh : Di Angkor Wat kalau kita mau naik ke kuil tidak boleh menggunakan topi, kalau memaksa tidak dikasih untuk masuk ke kuil. Ini perlu ditiru, kita tidak menjual murah destinasi tetapi menjadi quality tourist. Kita mengedukasi wisatawan sehingga menjadi experience bagi mereka,” ungkap I Wayan Suardana

Terakhir, I Wayan Suardana, berharap bahwa Bali sebagai destinasi yang berkualitas dan kompetitif, dengan wisatawan yang berkunjung juga berkualitas. Semua pihak (stakeholders) harus memahami dan menjadikan pariwisata untuk Bali bukan Bali untuk pariwisata.

“Jangka pendek, pemerintah menyiapkan regulasi, disiapkan informasi yang jelas pada destinasi yang sakral, dan pengawasan yang rutin dilakukan oleh pokdarwis/atau pecalang di masing-masing wilayah,” tutup I Wayan Suardana.

(Redaksi)

Well, Silahkan tulis pendapatnya di kolom komentar ya

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *