oleh

Sistem Irigasi Tetes, Teknologi Pengairan Pertanian Lahan Kering

INBISNIS.ID, SIKKA – Perkembangan dunia teknologi semakin hari kian berkembang pesat, termasuk teknologi di bidang irigasi/pengairan tanaman dengan menggunakan Sistem Irigasi Tetes (Drip Irrigation System). Sistem ini diterapkan oleh Yance Maring, seorang pria dari Kabupaten Sikka, Provinsi NTT, yang kurang lebih 9 bulan lamanya belajar bertani di Negara Israel. Sepulangnya dari Negara Zionis itu, dia mulai menerapkan sistem irigasi tetes menggunakan SMS dan Wi-Fi.

Pria kelahiran Kloangpopot, Kabupaten Sikka, 13 Maret 1989 silam ini berkisah, dia mengawali karirnya dengan mengikuti seleksi perekrutan di Kupang, Provinsi NTT, oleh seorang inisiator kerja sama Indonesia – Israel bernama Agus Suherman. Dimana, Agus Suherman merupakan salah satu pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa, yang memiliki misi untuk mengirim sebanyak mungkin mahasiswa Indonesia agar dapat belajar pertanian di Israel, melalui yayasan yang dipimpinnya itu.

“Waktu itu kami sekitar 200 orang mahasiswa NTT yang ikut seleksi, yaitu seleksi administrasi dan wawancara. Kuncinya ada di wawancara, sehingga saya termasuk salah satu dari 30 peserta yang dinyatakan lolos seleksi waktu itu,” katanya, pada Jumat (1/7/2022).

Selain 30 mahasiswa yang berasal dari NTT, ada pula mahasiswa dari Maluku dan Sumatera yang mengikuti program serupa, sehingga semuanya berjumlah 51 orang. Mereka pun kemudian diberangkatkan ke Israel, pada bulan Oktober 2018 lalu.

 Lebih lanjut Yance menuturkan, untuk biaya keberangkatan termasuk visa dan akomodasi selama menjalani pendidikan dan pelatihan di Israel, semuanya ditanggung oleh yayasan. Sesampainya di Israel, mereka kemudian belajar di Kampus AICAT (Arava International Center for Agriculture Training) melalui Sistem Diploma, dengan masa studi selama 9 bulan. Selanjutnya melakukan praktik lapangan di Moshav Ein Yahav (kampung-kampung pertanian di Israel) dan mendapatkan upah dari pemilik lahan tersebut.

“Kami kuliah hanya 1 hari dalam seminggu, 5 hari lainnya kami praktik di lapangan. Setelah dapat upah dari praktik lapangan di Moshav Ein Yahav, maka kami akan bayar kembali uang milik yayasan itu secara bertahap. Jadi sebenarnya, yayasan hanya membantu untuk memfasilitasi kami saja,” tuturnya.

Yance juga menjelaskan, untuk biaya makan-minum, tempat tinggal dan biaya kuliah, semuanya ditanggung oleh mereka sendiri. Untuk biaya kuliah selama kurang lebih 8 bulan, mereka harus membayar sebesar ₪10.000 Shekel (mata uang Israel) atau setara dengan Rp.40.000.000 (1 Shekel setara dengan Rp.4.000). Untuk biaya hidup selama 1 bulan biasanya sekitar ₪1.000 Shekel atau Rp.4.000.000. Tetapi untuk praktek lapangan, mereka mendapatkan upah sehingga dapat membiayai hidup, tempat tinggal dan juga kuliah mereka.

“Kalau praktek satu hari, standar biasanya delapan jam, per jam dibayar 25₪ Shekel. Jadi, sebulan hitung kotor, saya dapat ₪5.000 Shekel atau Rp.20.000.000 dan biaya hidup per hari rata-rata ₪20 Shekel atau Rp.80.000. Tapi, kalau tambah dengan rokok berarti lebih lagi, karena harga rokok di sana ₪100 Shekel lebih,” bebernya.

Yance menambahkan, biaya hidup di Israel sangatlah mahal, sehingga dia pun harus berhemat. Agar sepulangnya dari dari Israel, dirinya bisa mendapatkan sedikit uang demi memulai karirnya sebagai seorang petani, dengan menerapkan teknologi irigasi tetes berbasis SMS dan Wi-Fi.

Sistem Irigasi Tetes
Sepulangnya dari Israel pada Juni 2019 lalu, Yance mulai membuka usahanya dengan menerapkan sistem irigasi tetes. Yang mana diakuinya, sistem irigasi tetes mempunyai kelebihan, yakni hemat air, hemat tenaga dan sangat cocok untuk diterapkan di Provinsi NTT, khususnya Kabupaten Sikka, yang sebagian besar wilayahnya merupakan lahan kering.

Sehingga meskipun tak mempunyai lahan, namun dia berani mengontrak lahan seluas 1 hektar di Kelurahan Wailiti, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka, dengan nilai kontrak sebesar Rp.4.000.000/tahunnya.

“Sebenarnya di Israel itu sangat kekurangan air, karena di bor sampai kedalaman ribuan meter. Tapi manajemen airnya sangat bagus, sehingga kelihatannya seperti kelimpahan air. Namun untuk para petani kita, kalau mau menggunakan sistem irigasi tetes maka harus mempunyai investasi yang besar,” ujarnya.

Diceritakan Yance, awalnya dia mulai menanam tomat dan cabai pada bulan Juli 2019 dengan menggunakan selang irigasi sederhana. Akan tetapi usahanya itu gagal, lantaran menggunakan air galian, yang memiliki debit air yang sangat kurang. Uang yang dibawa pulang dari Israel sebanyak Rp.50.000.000 pun akhirnya ludes, sebab biaya yang dikeluarkan sangatlah besar. Walau demikian, dia tak menyerah. Dia bahkan meminjam uang di Bank sebesar Rp.25.000.000, untuk kembali mengembangkan usahanya itu.

Uang tersebut digunakan untuk membeli selang Drip Tape 16mm, Pipa PVC 1,5 inch, Konektor Selang Take Off 16 mm, Join Tape (sambungan selang jika putus), Air Valve (pengatur tekanan udara), Solenoid Valve (keran otomatis yang terhubung dengan timer/wi-fi dan sms), Venturi Injector (pemupukan yang akan diinjeksi secara otomatis) dan Disc Filter (untuk memfilter kotoran). Sedangkan ada juga sebuah alat rakitan yang dibelinya dari salah seorang Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui internet dan dinamakan sendiri, yaitu Modul SMS dan Wi-Fi.

Beberapa komponen yang digunakan dalam Sistem Irigasi Tetes, untuk mengalirkan air menuju tanaman (Foto : Yeremias Y. Sere)

Pada bulan April 2020, dia mulai menggunakan sumber air yang dibor, sekaligus melakukan instalasi penggunaan sistem irigasi tetes berbasis SMS dan Wi-Fi. Sehingga pada pertengahan Mei 2020, dia kembali menanam tomat, cabai besar, cabai keriting, semangka dan juga jagung pada lahan tersebut.

“Sistemnya menggunakan gravitasi, sehingga air mengalir dari sumur bor menuju tandon yang sudah disiapkan. Selanjutnya akan di Disc Filter menuju Solenoid Valve dan dihubungkan ke Modul SMS dan Wi-fi. Dari Solenoid Valve tersebut akan dihubungkan lagi ke Air Valve menuju Pipa PVC 1,5 inch, sehingga dibagi ke lahan melalui Konektor/Take Off 16mm dan disambungkan ke selang Drip Tape 16mm,” terangnya.

Sedangkan sistem kerjanya menggunakan SMS dan Wi-Fi, karena di dalam Modul SMS dan Wi-fi itu sudah dilengkapi chip. Untuk Wi-fi radiusnya hanya 100 meter saja. Sedangkan SMS bisa dilakukan dimana saja, selama ada signal dan handphone yang sudah terinstal program tersebut. Namun, Modul SMS dan Wi-Fi itu pun dapat dibuatkan timer, sehingga bisa dihidupkan dan dimatikan secara otomatis sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Yance juga menjelaskan bahwa, biaya yang dikeluarkan untuk membeli alat-alat irigasi tetes dari Negara China tersebut sekitar Rp.30.000.000. Modul SMS dan Wi-fi sebesar Rp.2.000.000 dan juga beberapa alat lainnya, totalnya sekitar Rp.40.000.000. Sementara hingga musim panen waktu itu, pengeluaran biaya diperkirakan mencapai Rp.50.000.000.

Ketika mendengar, membaca dan melihat akan adanya geliat sistem pertanian menggunakan irigasi tetes, berbagai pihak pun kemudian berdatangan ke lahan yang dikelola dan dikembangkan oleh Yance Maring itu. Disana sebagian dari mereka ada yang hanya sekedar bertanya dan ingin mencari tahu, tetapi sebagian pihak lainnya memilih untuk datang dan mempelajari lebih detail tentang irigasi tetes, agar dapat diterapkan di wilayahnya masing-masing.

Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, saat menyambangi lahan tersebut, pada Juli 2020 juga sempat menawarkan program pengembangan 100 hektar lahan irigasi tetes di Kabupaten Sikka, untuk dikelola oleh Yance Maring. Tak tanggung-tanggung, Laiskodat pun menjanjikan dana yang cukup fantastis senilai Rp.7 Miliar demi pengembangan 100 hektar lahan itu. Namun hingga kini, janji tetaplah menjadi janji, tak ada yang terealisasi.

Sementara, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) RI, yang saat ini tengah melakukan pengembangan agribisnis hortikultura juga menawarkan konsep Inclusive Closed Loop System (Sistem Kemitraan Saling Menguntungkan) kepada Yance Maring. Yang mana, Closed Loop merupakan sebuah sistem kemitraan yang mensinergikan rantai pasok pertanian terintegrasi dari hulu hingga ke hilir.

Dalam pola kemitraan ini, petani sebagai tokoh utama akan dihubungkan langsung dengan semua stakeholder. Sehingga dapat berbagi peran dengan semua stakeholder yang ada, mulai dari penyedia benih, pupuk, perlindungan tanaman, melakukan pendampingan terhadap para petani, membiayai dan memberikan dukungan permodalan, serta siapa yang akan menjadi jadi off-taker.

Atas inisiasi dari Kemenko Perekonomian RI tersebut, Yance Maring bersama para petani milenial lainnya di Kabupaten Sikka kemudian membentuk sebuah kelompok, yang diberi nama Moeda Tani Farm (MTF). Kelompok ini beranggotakan 5 orang dan dinahkodai langsung oleh Yance sebagai Ketua MTF. Sehingga sejak Agustus 2021 lalu, MTF akhirnya mulai mengembangkan sayapnya dengan mengolah lahan seluas 4 hektar, milik Pemerintah Kabupaten Sikka.

Lahan yang dikontrak selama 5 tahun itu pun selanjutnya ditanami dengan tanaman hortikultura, seperti tomat, cabai dan bawang. Tak ketinggalan, sistem irigasi tetes juga tetap menjadi ciri khas tersendiri bagi kelompok petani milenial ini. Meskipun begitu, mereka tak lagi menggunakan sistem SMS dan Wi-Fi, tapi menerapkan teknologi terbaru yakni Smart Farming hingga saat ini.

(Redaksi)

Well, Silahkan tulis pendapatnya di kolom komentar ya.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *