INBISNIS.ID, JAKARTA – Ki Jlitheng Suparman, seorang dalang pewayangan asal Solo kritisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Menurutnya, pemerintah dalam pembuatan aturan tersebut kurang bijaksana. Bila aturan tersebut dijalankan, banyak masyarakat akan mendapatkan dampaknya, misalnya saja pengusaha warung hingga pemain musik di kafe-kafe.
“Ini kebijakan yang tidak bijak. Tentu memberatkan masyarakat kecil yang banyak memakai jasa musik sebagai hiburan. Secara sosial kurang bijak, politik kurang bijak,” kata Jlitheng, dilansir detik.com, Jumat (9/4).
Dia berpendapat, permasalahan royalti adalah hubungan antara pencipta musik dan pengguna. Peran pemerintah, menurutnya, hanya sebagai pihak ketiga jika terjadi permasalahan antara kedua pihak. Sehingga dirinya mengira, tidak perlu adanya campur tangan dari pemerintah.
“Jadi bukan pemerintah yang berinisiatif seperti ini. Apakah sistemnyan siap? Distribusinya gimana? Apakah sampai ke yang berhak? Akan rumit,” ujarnya.
Jlitheng yang juga merupakan pendiri Wayang Kampung Sebelah itu setuju jika kebijakan tersebut menjadi pelindung karya seni. Namun, hal tersebut tidak bisa dipukul rata.
“Melindungi pencipta oke, tapi itu yang berhubungan dengan industri besar. Kalau dipakai di film ya dikejar. Di negara maju pun sekadar kafe, warung kan nggak mungkin memburu royalti. Ada jiwa sosial lah. Seni itu ada jiwa sosialnya. Banyak dimensi. Bukan hanya industri dipukul rata,” lanjut dia.
Dirinya menyebut aturan tersebut sebagai kebijakan hantam kromo atau pukul rata. Padahal, masih banyak seniman kecil yang butuh memanfaatkan karya besar orang lain untuk menghidupi keluarga.
“Coba berapa banyak penyanyi campursari yang punya lagu sendiri? Penyayi kafe, warung, bayarannya nggak seberapa tapi harus bayar royalti. Ini kebijakan hantam kromo. Tidak pakai landasan etika dan kultural,” tukas Jlitheng.
Komentar