INBISNIS.ID, BALI – Pembangunan Terminal Liquefied Natural Gas (LNG) yang semula akan di bangun di kawasan Benoa dan kemudian bergeser ke kawasan Mangrove Tahura Ngurah Rai menuai gejolak dalam lapisan masyarakat.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali, yang merupakan sebuah organisasi gerakan lingkungan hidup terbesar di Indonesia pun angkat bicara tentang pembangunan terminal LNG bersama Front Demokrasi Perjuangan Rakyat (FRONTIER), dan Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup (KEKAL) Bali.
Melalui jumpa pers yang diadakan di sekretariat WALHI Bali pada 20/06/2022, mereka mengatakan menolak pembangunan terminal LNG di kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) mangrove Ngurah Rai, karena pembangunan terminal LNG yang akan memakan 14,5 Hektar lahan mangrove sangat berpotensi merusak lingkungan hidup dan menambah potensi Bali diterpa bencana.
“Dari indikatif lahan yang kami coba overlay dengan skema gambar proyek LNG tersebut, itu ditemukan bahwasannya luas lahan yang akan terbangun itu seluas kurang lebih 7,75 hektar,” ungkap Made Krisna Dinata, S.Pd selaku Direktur WALHI Bali.
Made Krisna Dinata atau yang kerap disapa bokis lebih jauh mengatakan, bahwa pada kawasan pembangunan terminal LNG nantinya pada posisi tapak terminal akan menebas pohon mangrove yang telah mencapai tinggi 5 sampai 10 meter.
Bokis juga mengatakan pembangunan ini sangat kontradiktif dengan pidato presiden Joko Widodo pada World Ocean Summit 2022 pada 11 februari yang lalu, yang mana Presiden Joko Widodo memiliki misi untuk restorasi mangrove sebanyak 600 ribu hektare yang mana akan final 2024.
“Nah, dalam catatan badan restorasi gambut dan mangrove capaian nya di tahun pertama pada tahun 2021 tercatat baru 29.500 hektar, di sembilan provinsi yang menjadi lokasi prioritas, dilanjutkan juga dengan 3.500 hektar di lokasi tambahan di 23 provinsi, dan jika di total itu luasannya menjadi 33 ribu hektar,” jelas Bokis.
Menurutnya apabila hal itu di presentase kan, jika dibandingkan target Presiden yang mana akan merestorasi hutan mangrove dari 600 ribu hektar, maka hal ini hanya mencapai angka 5,5 % dari visi yang akan dilakukan presiden.
“Artinya 5,5% di tahun pertama itu sangatlah kecil, sedangkan kita akan dihadapkan lagi dengan rencana pembangunan terminal LNG yang akan membabat 14,5 hektar mangrove,” ungkap Bokis.
Lebih jauh Bokis menjelaskan menurut kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dilihat dari peranan hutan Mangrove yang mana dalam 1 hektar mangrove mampu menyerap sebanyak 39, 75 ton karbondioksida pertahun.
“Nah apabila kita convert di 14,5 hektar, itu dapat menyerap 576, 375 ton karbondioksida pertahun. Bayangkan jika itu hilang, serapan karbon kita sebanyak itu akan hilang juga, jadi ini akan juga menambah beban lingkungan dan pastinya mengurangi kestabilan bentang alam sebagai pengendali abrasi dan mereduksi dampak dari bencana Tsunami, karena mangrove kan memiliki fungsi seperti itu,’’ kata Bokis.
Jadi Bokis menegaskan bahwa dirusaknya mangrove hanya untuk kepentingan pembangunan terminal LNG ini sebagaimana dituangkan dalam Raperda RTRW Bali pasal 26 ayat 3 huruf F, akan meningkatkan potensi Bali diterpa bencana Tsunami.
Dijelaskan olehnya pula dalam proyek pembangunan terminal LNG di laut akan menimbulkan kerusakan ekosistem laut dan berdampak terhadap hajat hidup orang banyak. Dia juga menambahkan bahwa PT. Dewata Energi Bersih (DEB) akan melakukan Dredging dengan volume 3.300.000 M3,, yang dimana untuk memenuhi kebutuhan proyek terminal tersebut dibutuhkan luasan pesisir sebanyak 84,36 hektare dan pengerukan itu dilakukan dengan kedalaman 15 meter.
Menurut nya, pada summery yang diperlihatkan PT. DEB dalam proyeknya mengenai kawasan yang secara dokumen RZWP3K, itu memiliki kondisi terumbu karang yang dimana terumbu karang tersebut ditanam oleh masyarakat setempat dengan jenis Epilia Bali Ensist sebagai salah satu terumbu karang endemic.
“Secara indikatif, itu luas nya mencapai 5,75 hektar terumbu karang yang pasti kena akibat dredging yang dilakukan,” paparnya.
Merujuk pada definisi dari Balai Pengelola Sumber Daya Pesisir dan Laut, mengatakan bahwa dampak dari pengerukan akan menimbulkan kekeruhan perairan yang akan memberikan dampak pula pada ekosistem terumbu karang, yang berikutnya juga dapat menyebabkan pola arus gelomang akan berubah, selanjtnya akan menyebabkan abrasi, dan menurunkan produktivitas nelayan.
Kemudian Bokis juga mengatakan bahwa pembangunan terminal LNG ini juga akan mengancam beberapa tempat suci seperti Pura Dalem Pengembak, Pura Campuhan Dalem Pengembak, Pura Sunamerta, Pura Kayu Menengen, Pura Mertasari, dan Pura Tirta Empul Mertasari.
“Berbicara tempat suci, kita memiliki pengalaman semisal Pura Cedok Waru di Pantai Segara Kuta itu, karena abrasi pura tersebut dipindah sebanyak 3 kali, jangan sampai akibat pengerukan yang dilakukan dalam proyek Terminal LNG ini sehingga menyebabkan abrasi di pesisir sanur itu juga menyebabkan tempat suci yang ada terancam.” tandas Bokis.
Berdasarkan hal yang telah dijelaskan, Maka di hari yang sama dalam melakukan Jumpa Pers Walhi Bali, Kekal Bali, Frontier Bali juga mengatakan telah mengirim surat kepada DPRD Provinsi Bali untuk menuntut Pembatalan proyek Terminal LNG di Kawasan mangrove dan Hentikan Revisi RTRWP Bali.
(Redaksi)
Well, Silahkan tulis pendapatnya di kolom komentar ya.
Komentar