INBISNIS.ID, MAKASSAR – Gonjang ganjing tentang BPJS kesehatan nyaris selalu ramai, dibalik keberhasilan Asuransi BUMN itu menangani masalah kesehatan kliennya.
Baru saja masyarakat diributkan tentang adanya aturan, dimana jual beli tanah misalnya, nanti bisa kalau yang bersangkutan masuk anggota BPJS Kesehatan.
Sekarang muncul wacana KRIS (Kelas rawat inap standar) bagi pasien BPJS Kesehatan. Di mana dalam PP tersebut tercantum untuk peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) dari Pemerintah satu kamar 6 (enam) tempat tidur.
Untuk peserta non PBI (seperti ASN, TNI Polri, BPJS Mandiri) satu ruang perawatan 4 (empat) tempat tidur.
Sebenarnya wacana ini pernah dibahas tahun 2014 – 2019. Waktu itu BPJS defisit sangat besar, sampai berkali-kali Pemerintah mengucurkan dana subsidi. Tidak berlanjut, karena wakil-wakil dari Federasi Buruh akan keluar dari keanggotaan BPJS Kesehatan. Mereka mengancam akan kembali ke Jamsostek di mana disitu ruang perawatan tetap dibedakan antara pekerja baru dengan yang lama.
“Sekarang BPJS Kesehatan telah surplus puluhan trilyun rupiah. Jadi kami dari BPJS Kesehatan kalau mau menerapkan KRIS untuk RS mitra BPJS, lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.”
Demikian paparan Direktur Pengembangan dan Manajemen Resiko BPJS Kesehatan DR Dr Mahlil Ruby M Kes pada Wibiner bertajuk “”BPJS Satu Kelas Standar : “Implementasi dan Kendala di Fasilitas Kesehatan” yang diadakan FH Universitas Hang Tuah Surabaya Senin (28/2).
Menurut Mahlil, definsi standar dalam pelayanan pasien di rumah sakit, masih simpang siur. Kemarin saya dari Wakatobi, kelas III RS Wakatobi Sultra sangat beda dengan kelas III RS RS di Jakarta. Terlalu banyak harus disesuaikan bila KRIS ini diberlakukan. Apakah stakeholder RS sudah siap.
Pemakalah lain, Dekan FH Universitas Hang Tuah, merujuk biaya investasi cukup besar bila mau merubah kamar kelas I dengan dua tempat tidur menjadi 4 atau 6 tempat tidur. Dari segi prasarana, berapa banyak kamar kecil, luas ruangan, pencahayaan, stop kontak listrik, berapa banyak stop konrak oksigen sentral, dan lain sebagainya. Belum lagi dari aspek hukum, sebab dalam UU SJN No 40Tahun 2004 secara implisit tentang kamar standar tidak jelas, hanya disebutkan pasien Non PBI bisa naik kelas dengan membayar seluruh biaya dari RS bersangkutan.
Belum masalah tarif. Apakah satu tarif. Misalnya Rp 70.000 per bulan per orang, bagaimana kemampuan dana Kemenkes untuk menambah iuran anggota PBI dari Rp42 000 menjadi Rp 70.000 dengan jumlah peserta puluhan jura jiwa. ASN golongan IV contoh lain, apakah mereka tidak akan protes bila iurannya lebih tinggi, sementara ruang rawat inapnya sama dengan yang lain.
“Bukan tidak mungkin akan ada yang mengajukan gugatan di Pengadilan. Tapi bagi kami BPJS, kalau regulator dalam hal ini Kemenkes sudah memutuskan, mau tak mau BPJS harus laksanakan. Dilematis memang,” pungkas DR Dr Mahlil Ruby M.Kes, Direktur Pengembangan dan Manajemen Resiko BPHS Kesehatan.
(Redaksi)
Komentar