INBISNIS.ID, TERNATE – Kebijakan yang gegabah, tanpa desain yang tepat dengan mempertimbangkan berbagai faktor kewilayahan, rantai supply, margin pelaku usaha, beban yang ditanggung prinsipal minyak goreng belum jelas skemanya.
Hal ini disampaikan Akademisi Unkhiar, Mukhtar Adam kepada INBISNIS.ID, Jumat (28/1) melalui sambungan Whatsappnya.
Menurut Mukhtar, Kebijakan subsidi ke produsen minyak goreng tanpa memikirkan dampak berantai yang di akibatkan dari kebijakan sepihak akan mengakibatkan distorsi pada pasar, oleh karena itu para penjual telah membeli stock minyak goreng dengan harga 20.000 rupiah di distributor minyak goreng, namun tiba-tiba pemerintah menerbitkan kebijakan satu harga, tetapi hanya di retail moderen, sementara Toko retail membeli dengan harga 20.000, jualnya 22.000 ribu, pemerintah menerbitkan regulasi menjual dengan satu harga 14.000, lalu selisih perbedaan harga 6.000 dari harga pokok penjualan, selisi harga ini siapa yang menaggungnya?.
“Ini kebijakan gegabah tanpa Road map yang jelas, niatnya membantu masyarakat tapi dengan cara Bar-bar, akibatnya masyarakat menanggung beban dari hilangnya produk di pasaran”, demikian jelas Ota sapaan akrab Mukhtar Adam.
Selanjutnya dikatakan fenomena ini bukan hanya di satu Kota saja melainkan semua kota di seluruh Indonesia termasuk Kota Ternate, justru yang aman di pasar tradisional yang saat ini masih menjual dengan harga 22 ribu hingga 24 ribu.
“Masyarakat pada prinsipnya lebih baik ada barang walau mahal dari pada bersubsidi tapi kehilangan produk, retail modern makin berkuasa mainkan pasar tanpa terkendali, akibatnya beban justru semakin berat dirasakan oleh UMKM dan masyarakat”, tuturnya.
Pada saat yang sama para Toko retail menentapkan harga berdasarkan kawasan, dengan asumsi pada ongkos transportasi dan lain-lain, yang berdampak penetapan satu harga, dibutuhkan kajian mendalam terhadap rantai pasok dan model subsidi yang di ambil pemerintah pusat.
Diriilis dari sumber terpercaya bahwa Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag, Oke Nurwan, menjelaskan pangkal masalah kenaikan harga minyak goreng karena mahalnya harga bahan baku, yakni minyak sawit yang mengikuti tren harga pasar dunia.
Atas dasar itu, Kemendag mengambil kebijakan untuk menetapkan harga minyak sawit khusus dalam negeri lewat kebijakan domestic price obligation (DPO) minyak sawit mulai Kamis (27/1/2022). Harga yang ditetapkan sebesar Rp 9.300 per kg, untuk minyak sawit (CPO) dan Rp 10.300 per liter untuk olein.
Dengan adanya kebijakan DPO, maka pemerintah pun dapat menetapkan HET minyak goreng. “Karena harga bahan baku minyak sawit sudah diturunkan melalui DPO, maka dalam hal ini pembayaran selisih harga dari harga keekonomian (subsidi) tidak lagi diperlukan,” kata Oke dalam konferensi pers virtual, Kamis (27/1/2022).
Lebih lanjut, Oke menambahkan, produsen minyak goreng yang telah menjual dengan harga murah agar harga di tingkat konsumen Rp 14 ribu per liter selama Januari ini, dapat melakukan klaim kepada BPDPKS untuk menerima subsidinya. Adapun pengajuan klaim tetap dapat dilakukan mesti lewat 31 Januari 2022 di mana program satu harga sudah tidak berlaku.
Komentar