INBISNIS.ID, LARANTUKA – Masyarakat Indonesia adalah masyarakat multikultural karena memiliki keanekaragaman suku, agama, ras dan adat istiadat yang membuat Indonesia kaya dengan budaya. Setiap daerah memiliki kekhasan budaya masing-masing yang diwariskan oleh nenek moyang.
Salah satunya adalah perkawinan. Upacara perkawinan di Nusa Tenggara Timur biasanya disertai dengan upacara adat penyerahan belis. Belis merupakan pemberian mas kawin dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Di desa Lewoloba, kecamatan Ile Mandiri, kabupaten Flores Timur misalnya, belis yang harus disiapkan untuk meminang seorang gadis yang berasal dari suku Geken adalah gading, witi (kambing) bertanduk panjang, nera (sejenis bakul yang dianyam dan diisi dengan beras merah tanpa campuran), arak satu kumbang, dan hewan lain yang disepakati untuk makan bersama serta aksesoris-aksesoris lainnya sebagai pelengkap seperti gaun pengantin, perhiasan, sepatu, tebu, anyaman, kebutuhan dapur.
“Kalau gading satu maka dia harus diikuti dengan witi (kambing, dalam belis perempuan disebut weli witi bala” ungkap Boni salah satu tokoh ada di kampung Lewograran.
Upacara adat penyerahan belis oleh suku Lamen desa Lewograran, kecamatan Solor Selatan, kabupaten Flores Timur ini dimulai dengan pertemuan kedua belah pihak atau disebut “koda adat” berarti pertemuan adat yang menyangkut belis dan kelengkapan lain sesuai dengan aturan adat.
Setelah koda adat dan telah terjadi kesepakatan, pihak laki-laki membentuk kelompok kecil dalam keluarga untuk mendiskusikan belis yang akan diserahkan untuk pihak perempuan.
Menurut Boni (45) proses penyerahan belis bukan hal yang mudah, perlu dilakukan secara hati-hati karena gading diibaratkan sebagai “belaya mea” atau darah merah dimana saat diantar keluar dari rumah harus melalui proses tertentu.
Sejak tenda dibangun, rumpun suku dalam persekutuan keluarga ana opu dan ina ama datang untuk membawa material dan hewan. Hingga tiba saatnya suku terakhir yang bertanggung jawab untuk membuat gading keluar dari rumah bertugas untuk menjaga sepanjang malam.
“Budaya kita orang solor, ketika tenda dibuka tidak boleh tenda itu dibiarkan kosong” tegas Boni.
Malam terakhir sebelum belis diantar terlebih dahulu didiskusikan untuk pembagian tugas. Sejak pagi saat hari hantaran akan ada gong gendang yang berbunyi untuk mengumpulkan orang-orang bahkan mengikutsertakan leluhur untuk hadir bersama dalam upacara itu.
Sebelum gading dibawa harus ada koda adat atau bahasa adat yang diucapkan dan gading harus dilihatkan kepada semua orang yang hadir di tempat itu. Bine yang ditugaskan untuk memikul Bala (gading) berdiri paling depan dan yang bertugas untuk membawa gading beralaskan kain (berupa sarung atau baju) di pundaknya. Kain yang diletakkan di pundak juga berlaku untuk orang yang membawa kambing, nera dan arak.
Dalam perjalanan menuju rumah pihak perempuan, pihak laki-laki akan mengarak belis dengan tarian menggunakan alat musik gendang dan gong. Selama perjalanan sesekali, arakan akan berhenti dan saat itu tokoh adat akan mengeluarkan koda adat berupa mantra untuk menjaga gading karena gading dipercaya memiliki kekuatan magis yang dapat melindungi rumah tangga dan keluarga mempelai yang akan menikah.
Saat gading di ambil pihak perempuan akan meletakkan kain di atas pundak ana opu sebagai tanda diterimanya pihak laki-laki dan diikhlaskannya perempuan untuk masuk dalam keluarga suku Lamen.
Acara adat pengantaran belis ini diakhiri dengan ramah tamah bersama keluarga pihak keluarga laki-laki dan keluarga perempuan sebagai tanda kebersamaan dan wujud komitmen bersama untuk menikahkan kedua mempelai.
(Avilla Riwu/Redaksi)
Komentar