INBISNIS.ID, MAKASSAR – UU Pilpres yang menetapkan batas ambang pencalonan 20% menimbulkan penolakan yang sangat masif di tengah masyarakat. Berbagai upaya yang dilakukan tokoh tokoh bangsa untuk membatalkan UU tersebut melalui Judicial Review di MK, selalu ditolak secara bulat oleh 9 Hakim MK.
Bukan berarti kalangan akademisi berhenti berjuang tapi tetap semangat untuk meyakinkan MK bahwa UU tersebut ilegal, tidak punya dasar hukum, bertentangan dengan UUD NRI 1945 serta hanya upaya parpol besar mempertahankan kekuasaan.
Dengan adanya pemilu serentak seakan akan parpol mendapat legitimasi dari rakyat, padahal substansinya jauh dari demokrasi Lebih jauh lagi sebagaimana diutarakan Prof Dr St Zuhroh dalam webinar pada Minggu, (14/11/2021) bahwa Presidential Threshold berimplikasi sangat buruk pada tatanan berbangsa dan bernegara.
Peneliti LIPI (BRIN) mengakui bahwa Pilpres 2019 telah menyebabkan polarisasi dan diharmonisasi terhadap bangsa. Terjadi benih benih perpecahan sebab rakyat hanya disuguhi dua paslon, padahal bangsa kita beraneka ragam dalam kebhinekaan.
Oleh sebab itu, Dewan Pakar KAHMI sejak Oktober 2019 telah mengirim pokok pokok pikiran untuk mengetuk nurani anggota Parlemen.
“Kami dari Dewan Pakar KAHMI mendesak DPR agar ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh semua fraksi di DPR MPR. Dan untuk mencegah persekongkolan jahat politisi, setiap Capres dan Cawapres hanya boleh didukung 30% suara di Senayan. Karena ini terbukti pada pilkada 2015 dan 2020 partai berhitung untung rugi, jadilah satu paslon didukung beramai, agar mengurangi jumlah persaingan,” demikian dikutip dari webinar tersebut.
Dalam amatan INBISNIS ID pada Pilwakot Makassar 2017, 10 parpol DPRD Kota Makassar mengusung calon tunggal. Tujuannya agar calon tersebut mulus kemenangannya. Faktanya paslon tersebut kalah dari kotak kosong.
Beda dengan paslon tunggal yang diusung PAN di Enrekang, menang dengan meyakinkan dari kotak kosong. Menurut Zuhroh tujuan pemilu serentak untuk efektifitas dan mensejahterakan rakyat.
Ternyata hasilnya berbanding terbalik. Indeks demokrasi menurun sebagaimana Indeks Persepsi Hukum turun drastis. Hal ini dibenarkan Jenderal TNI Gatot Nurmantyo sebagai penanggap pada Wibiner yang diadakan Forum Guru Besar dan Doktor MN KAHMI bekerjasama dengan LP3S.
Mantan Panglima TNI merujuk data rapor Pemerintah yang semuanya merah. Skor demokrasi 6.30% ,Perlindungan HAM 2,9%, Kesejahteraan rakyat 18.02%, Ketahanan sosial 0.84%, Kebebasan sipil 5.57%.
Karena pemilu berbiaya mahal, maka DPR mudah diarahkan oleh oligarki. Banyak produk UU tidak memihak kepada rakyat. Keberadaan politisi tersandera perilaku korup partai bersangkutan. Anggota DPR tersandera dengan ancaman recall dari pimpinannya kalau Dia berseberangan.
“Maklum perilaku korup mayoritas dari politisi,” papar penanggap Habil Marati.
Konklusi dari webinar tersebut yaitu syarat Presidential Threshold 20%, menjadikan Indonesia mengalami kemunduran di segala bidang.
Komentar