INBISNIS.ID, PURWOKERTO – Dalam beberapa tahun terakhir isu krisis iklim terus menggema di sidang tahunan World Economic Forum (WEF) 2022 di Davos, Swiss. Pada forum tersebut, sebanyak 50 kepala negara atau pemerintahan diminta memperkuat komitmen untuk mengurai persoalan global ini. Emisi global penggunaan batu bara naik hingga 9%. Berlandaskan kondisi ini, AS menekankan pentingnya peran pemimpin global untuk mendorong aksi mitigasi iklim yang lebih kuat.
Pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan juga akan menghantam sisi perekonomian, baik secara global maupun domestic. Laporan pembangunan rendah karbon tahun 2019 yang dirilis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia akan terbatas di level 5% pada tahun 2024, jika tidak menerapkan kebijakan energi bersih. Kondisi tersebut bisa lebih buruk karena laporan Bappenas belum memasukkan
dampak dari pandemic Covid-19. Dari laporan Lembaga negara tersebut, seluruh sektor bisnis akan terdampak, tak terkecuali industri perbankan.
Pada saat bersamaan, otoritas menilai pembiayaan untuk sektor usaha ramah lingkungan memiliki peluang besar untuk mendapatkan pendanaan dari perbankan. Estimasi terkait pembiayaan iklim di Indonesia pada tahun 2016 – 2030 diperkirakan mencapai US $458 miliar, khususnya untuk sektor energi terbarukan dan green building yang memiliki porsi terbesar.
Dalam menjaga kelestarian lingkungan, selama ini pemerintah indonesia telah mengeluarkan undang-undang no 32 / 2009 mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang antara lain mengatur kewajiban bagi industri untuk melindungi alam dan lingkungan. Dari undang – undang inilah, sejak tahun 2010 Bank Indonesia telah mendorong bank – bank komersial untuk memasukkan isu lingkungan dalam praktik pengelolaan risiko. Para eksekutif bank diwajibkan untuk meningkatkan kesadaran mereka terhadap resiko kemungkinan terjadinya masalah lingkungan pada proyek yang dibiayainya yang mungkin berdampak negatif pada reputasi bank yang bersangkutan. Masalah lingkungan yang menimpa sebuah proyek bank dapat berpotensi mengganggu keselamatan bank itu sendiri.
Untuk mewujudkan pembiayaan ramah lingkungan tersebut, diperlukan kesadaran dan pemahaman bersama tentang pentingnya kelestarian lingkungan. Untuk itu fairness, integrity, equality dan morality menjadi sebuah syarat jika ingin membangkitkan kesadaran manusia terhadap ekonomi yang arif terhadap lingkungan. Dalam melaksanakan ini semua tergantung pada dari sikap regulator dan masyarakat dalam memperjuangkan kaidah-kaidah tersebut. Apalagi konstitusi kita menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dan kemanusiaan, sudah sepantasnya jika pembangunan tersebut harus memiliki semangat ramah lingkungan sebagai prioritasnya. Sektor keuangan harus mengikutinya dengan pembiayaan ramah lingkungan.
Khusus di Jakarta, estimasi pembiayaan iklim diperkirakan mencapai US $30 miliar antara tahun 2018 sampai dengan 2030. Sektor green building tercatat menyerap investasi terbanyak dengan nilai US $16 miliar, diikuti kendaraan listrik senilai US $7 miliar. Tentunya, itu akan membuka kesempatan bagi perbankan yang mampu bersaing dan bisa berhasil mengambil peluang tersebut untuk meningkatkan pembiayaan terkait dengan sustainability finance.
Sepanjang tahun 2021, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat penyaluran sustainable loan dari industri perbankan mencapai US $55,9 miliar atau sekitar Rp. 809,75 triliun sampai dengan Desember tahun 2021. Dari sisi industry perbankan, meski tidak tergolong sebagai penyumbang pencemaran lingkungan yang tinggi, isu pembiayaan ramah lingkungan menjadi perhatian utama. Sebagai Lembaga dengan fungsi intermediasi, pinjaman dari bank kepada nasabah dapat menjadi pemicu bagi kegiatan yang berdampak pada lingkungan.
Kesadaran ini kemudian membuat 8 bank berkomitmen menjadi perintis praktik perbankan berkelanjutan pada tahun 2015. Delapan bank itu adalah Bank Mandiri, BRI, BCA, BNI, Muamalat, BRI Syariah, Bank bjb, dan Bank Artha Graha Internasional. Kala itu, para eksekutif delapan bank tersebut menandatangani komitmen “Langkah pertama untuk menjadi bank yang berkelanjutan” hasil Kerjasama OJK dengan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia.
OJK terus mendorong munculnya inovasi pembiayaan yang ramah lingkungan hidup dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip keberlanjutan menuju terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. “OJK mendorong terbentuknya sektor jasa keuangan yang lebih bertanggung jawab, transparan, dan berorientasi jangka panjang. Kemudian, untuk merespons kebutuhan pendanaan yang berkelanjutan tersebut, pelaku jasa keuangan didorong untuk berinovasi, mengembangkan produk dan layanan jasa keuangan, baik yang berjangka pendek maupun panjang,”
Seiring dengan berjalannya waktu, kebijakan untuk mendorong pembiayaan berkelanjutan terus bergulir, seperti kemunculan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap I (2015-2019) dan Tahap II (2021-2025) serta peluncuran Taksonomi Hijau Indonesia oleh Presiden Joko Widodo. Program ini akan menjadi pedoman bagi penyusunan kebijakan dalam memberikan insentif maupun disinsentif dari berbagai kementerian dan Lembaga ke depan. Sampai dengan tahun lalu, sebanyak 15 bank telah bergabung dalam Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI).
Komitmen terbaru dating dari bank BRI. Di Davos, Dirut BRI Sunarso mengatakan bahwa perseroan akan membatasi aliran kredit ke sektor energi yang merusak lingkungan, seperti batu bara dan minyak bumi. Maka dari itu, peran aktif industry perbankan dibutuhkan untuk mengatasi persoalan global, khususnya perubahan iklim. Meski tidak mudah, industri perbankan diminta mampu mengoptimalkan pembiayaan untuk sektor usaha ramah lingkungan. Semoga bermanfaat.
Oleh : Gilang Tejawangsa (Mahasiswa MM Unsoed)
(Redaksi)
Well, Silahkan tulis pendapatnya di kolom komentar ya.
Komentar