INBISNIS.ID – Tersimpan dengan baik kenangan Natal & Tahun Baru tahun lalu, 2020. Saat masih di Asrama Polisi tempat di mana aku menemani suami selama berdinas sebagai Polisi.
Menyandang status istri Polisi atau lebih dikenal dengan istilah Bhayangkari, merupakan kebanggaan sekaligus kehormatan tersendiri bagiku. Selain, secara visual bangga memiliki suami gagah berseragam Polisi dengan segala tugas negara yang diemban oleh setiap Anggota Polisi demi terjaganya kedaulatan NKRI, seiring waktu berjalan nyatanya status menjadi seorang ibu Bhayangkari mampu menumbuhkan rasa nasionalisme cukup tinggi pada diriku. Perasaan itu semakin tumbuh dan berkembang di dalam jiwa.
Sudah bukan menjadi rahasia umum, jika menjadi pendamping Abdi Negara terdapat risiko dan konsekuensi yang akan diterima. Salah satunya yakni, risiko mendapati kenyataan untuk menerima kerelaan istri harus terpisah oleh jarak juga waktu dengan suami yang sedang bertugas di dalam negeri maupun luar negeri, selama berbulan-bulan bahkan hitungan tahun. Maka dari itu, kesiapan mental baik secara psikologis dan spiritual penting dimiliki sebelum memutuskan untuk menikah dengan Abdi Negara.
Keberadaan seorang Polisi adalah setiap detik menentukan, kalimat yang sering terdengar terlontar dari mulut suamiku, ketika setiap kali mencoba memberikan pemahaman kepadaku untuk selalu menerima penampilan situasi yang terkadang bersifat mendadak atau di luar perkiraan terkait segala penugasan dari atasan.
Berjauhan dengan Suami
Ujian kehidupan tak terlupakan sebagai istri Polisi datang di saat usia pernikahan kami memasuki tahun ketujuh. Suamiku yang merupakan Anggota Polisi bersama Anggota Polisi lainnya mendapat “Surat Perintah”
Tanggung jawab besar dan nyawa sebagai taruhan itu pasti. Tak ayal membuat batinku mengalami dilema sebagai seorang istri. Perasaan gusar gundah sempat menguasaiku untuk beberapa saat. Sampai pada akhirnya aku mampu menepis kekhawatiran yang beralasan dengan kembali berpedoman, akan pentingnya peran istri Polisi yang turut memiliki andil besar dalam menentukan keberhasilan suami selama menjalankan tugas negara. Benar adanya semboyan tentang kesuksesan bahwa di balik kesuksesan suami, terdapat istri yang hebat.
Terasa berat di awal dalam menjalankan kehidupan sehari-hari tanpa suami di samping. Beban itulah yang aku rasakan, mengingat saat ditinggal bertugas usia anak-anakku masih balita. Putra pertama kami menginjak usia empat tahun dan putri kami belum genap tujuh bulan. Namun, aku harus berjuang untuk tetap melanjutkan kehidupan.
Pesan motivasi suami untuk selalu menjaga kehormatan diri dan anak-anak yang mampu menguatkan, selain keyakinan terhadap kekuatan doa kepada Sang Pencipta, senantiasa terus aku panjatkan untuk keselamatan suami dan keberkahan keluarga kecil kami.
Meksi dirasa cukup berat, aku masih bersyukur dapat berkomunikasi dengan lancar melalui pesan whatsapp dan video call bersama suami, baik hanya sekedar menanyakan kabar (bertukar kabar) untuk saling memastikan satu sama lain dalam keadaan sehat.
Singkat kata, komunikasi menjadi penting dan mutlak diperlukan untuk menjaga moral kami berdua di saat menjalani “Long Distance Marriage” selama penugasan, sekaligus dapat menjadi obat penawar rindu. Atmosfer ini melemparkan kami pada kenangan “Long Distance Relationship” saat masih berpacaran, sejoli dimabuk asmara. Aku yang saat itu masih mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan sedangkan si dia bertugas menjadi. Seketika kenangan manis terpatik kembali. Sontak menciptakan romantisme antara kami. Sesekali terdengar gelak tawa di ujung telepon setiap mengingat memori-memori LDR waktu lampau.
Berkumpul Kembali dengan Keluarga
melewati Natal & Tahun Baru tanpa belahan jiwa yang menemani membuat Haru Raya tahun lalu sedikit sendu. Cintaku sedang ada mencolok di suasana Natal & Tahun Baru tahun kemarin dengan tahun-tahun sebelumnya. Aku yang sebelumnya terbiasa sibuk melayani segala kebutuhan keperluan suami dari memasak menyiapkan menu dan menyediakan menu kesukaannya mendadak merasa ada yang kurang, rindu dengan rutinitas itu hingga menelusup di dada.
Terutama, merindukan akan kebersamaan kehangatan menjelang hari raya Natal & Tahun Baru . Terlebih, di kala penerapan PSBB akibat pandemi Covid-19 diberlakukan, semakin membuatku lebih sadar bahwa keberadaan sosok suami sangat krusial bagi keseimbangan berumah tangga. Aku menjadi lebih menghargai kebersamaan sekecil apa pun dan terbesit rasa penyesalan saat pertengkaran-pertengkaran kecil akibat perbedaan pendapat yang kadang umum terjadi di dalam rumah tangga. Bumbu cinta. Kerinduan mulai menggelayuti di penghujung Natal & Tahun Baru di tahun lalu
Banyak tantangan yang harus aku lalui di antaranya, merawat rumah. Keterampilan yang notabene dimiliki para suami, mau tidak mau, suka tidak suka harus bisa kita lakukan. Contoh, mampu mengganti bohlam yang mati, pipa saluran air yang tiba-tiba bocor, membetulkan genteng yang melorot, sampai dengan hal yang sederhana akan tetapi enggan dan takut untuk kita kerjakan saat suami berada di rumah, yaitu mengangkat dan memasang galon, memasang tabung gas LPG. Dari yang awalnya fobia memasang tabung gas LPG alhasil menjadi tidak takut membongkar pasang tabung gas LPG. Fobia ternyata bisa kita lawan di saat situasi “KEPEPET”. Tidak ada yang mustahil, jika ada kemauan dan tekad dari diri kita sendiri. Hal ini tentunya juga berlaku bagi masing-masing individu yang berbeda.
Tantangan terpenting berikutnya di sini yakni, merawat anak kami. Berhubung kami berasal dari Solo, ditambah lagi aku terlahir sebagai anak tunggal. Praktis, tidak ada sanak saudara satu pun yang kami punya.
Segala sesuatu sebisa mungkin aku kerjakan sendiri tanpa ingin merepotkan orang lain. Menjaga kerukunan dengan tetangga termasuk salah satu faktor penting untuk diperhatikan. Tanpa hubungan yang terjalin dengan baik, bisa jadi ketika menghadapi persoalan tertentu atau kesulitan, maka kita akan kebingungan meminta pertolongan. Merawat anak-anak agar tetap tumbuh sehat menjadi prioritas utama. Sebab, akan lebih repot kalau anak sakit tanpa ada keterlibatan kepala keluarga.
Alhamdulillah, selama penugasan suami berlangsung dari awal sampai akhir, anak-anakku sehat dan tetap ceria. Meskipun tetap ada keinginan anak yang tidak mampu aku penuhi. Dibutuhkan peran langsung ayah dalam kemajuan tumbuh kembang anak sekaligus pengendali perilaku anak.
Mandiri dan kuat, satu hal dari banyak hal yang perlu perempuan miliki saat sudah atau belum berkeluarga. Supaya, tidak ada kegentaran sedikit pun jika dihadapkan kepada keadaan tak terduga yang melanda kehidupan pribadi. Memberikan teladan yang baik bagi anak kita dengan sifat kemandirian seorang ibu, sebab bagi mereka kita ini ibarat sekolah.
Pada akhirnya, aku bisa melewati segala cobaan di depan mata dengan baik. Meyakini bahwa badai pasti berlalu. Kini Natal & Tahun Baru sekarang, aku dan suamiku beserta anak-anak sudah berkumpul kembali.
(Redaksi)
Komentar