oleh

Mengungkap Sebuah Kisah Sejarah Transportasi di Minangkabau

INBISNIS.ID – Pelabuhan merupakan tempat yang sengaja dibuat untuk menjadi tempat berlabuhnya kapal. Sama seperti halnya bandara, pelabuhan tidak kalah sibuknya dengan kesibukan di bandara. Bangunan besar yang dibangun di pinggir laut ini, disuguhkan dengan kesibukan bongkar muat barang yang akan dikirim menuju daerah lain melalui jalur laut.

Indonesia sendiri mempunyai berbagai pelabuhan besar yang cukup sibuk melayani kapal-kapal yang akan masuk dan pergi menuju daerah lain di sekitarnya. Pelabuhan besar yang ada di Indonesia adalah seperti Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, Pelabuhan Pulau Baai di Bengkulu, dan Pelabuhan Teluk bayur di Padang. Dari sekian banyak pelabuhan itu, pelabuhan Teluk Bayur mempunyai sejarah unik yang enak untuk diperbincangkan.

Pelabuhan Teluk Bayur merupakan pelabuhan yang terletak di sebelah selatan Kota Padang dengan jarak sekitar 9 KM dari pusat kota. Pelabuhan ini mempunyai fungsi sebagai pintu gerbang antar pulau serta pintu gerbang arus keluar masuk barang ekspor-impor dari dan ke Sumatera Barat (Wikipedia). Jika diteliti jauh ke belakang, pelabuhan ini juga mempunyai sejarah yang khas bagi masyarakat di Minangkabau.

Pelabuhan Teluk Bayur didirikan pertama kali tahun 1892 dengan nama Pelabuhan Emmahaven. Sebelum adanya pelabuhan ini, Kota Padang sudah ada 2 pelabuhan yaitu Pelabuhan Muaro dan pelabuhan yang terdapat di Pulau Pisang. Proses pembangunan pelabuhan ini menurut Lindayanti dan kawan-kawan, dalam bukunya yang berjudul Kota Sawahlunto, Jalur Kereta Api, dan Pelabuhan Teluk Bayur menyatakan bahwa proyek pembangunan pelabuhan ini dikerjakan oleh tenaga kerja paksa, pekerja bebas dari bangsa Melayu, Nias, Jawa dan Belanda, sekitar 900 orang tenaga kerja paksa atau orang rantai dikerahkan setiap hari demi tercapainya pembangunan pelabuhan ini.

Yang melatarbelakangi pemerintah kolonial membangun pelabuhan ini adalah semakin berkembang pesatnya tambang batubara Ombilin di Sawahlunto dan juga telah dibukanya jalur kereta api dari Sawahlunto menuju kota Padang dalam memasarkan hasil tambang dari kota itu. Emmahaven bukanlah nama yang pertama kali dinamakan untuk pelabuhan ini, pada awalnya pelabuhan ini disebut dengan nama Brandewijnbaai (Teluk Barandi), kemudian diganti dengan Konningenebaai (Teluk Ratu), setelah penamaan itulah baru diganti dengan sebutan pelabuhan Emmahaven (Lindayanti, dkk: 2017).

Selama masa awal pengoperasian pelabuhan ini, berbagai masalah juga timbul seiring beroperasinya pelabuhan ini, seperti masalah bencana alam, pemogokan buruh, dan juga kerusuhan bagi masyarakat sekitar pelabuhan. Pelabuhan Emmahaven telah mulai mengalami kemunduran semenjak tahun 1930-an dengan berbagai faktor penyebab. Pendudukan Jepang di tanah air pada tahun 1942, juga memperburuk keadaan di pelabuhan ini. Pelabuhan ini juga turut menjadi sasaran penyerangan oleh tentara Jepang.

Seiring berjalannya waktu, Indonesia juga telah memasuki masa-masa kemerdekaan. Semua aset yang dibangun oleh pemerintah kolonial, sekarang sudah diambil alih oleh pemerintah Indonesia termasuk Pelabuhan Emmahaven. Pelabuhan ini kemudian berubah nama menjadi Pelabuhan Teluk Bayur yang kita kenal hingga sekarang ini dan menjadi pelabuhan terbesar kedua setelah pelabuhan Tanjung Periok di Jakarta.

Pelabuhan Emmahaven, Jalur Kereta Api, dan Kota Sawahlunto sekarang hanya tinggal sebuah kenangan dalam catatan sejarah di Sumatera barat. Ketiga istilah ini dinamakan dengan istilah Tiga Serangkai dalam sejarah transportasi bagi masyarakat yang tinggal di wilayah Minangkabau atau Sumatera Barat (Lindayanti, dkk: 2017).

Bukan hanya sekedar transportasi, tetapi juga sebagai sarana penyambung ekonomi masyarakat dari wilayah darek ke daerah rantau. Melalui tiga serangkai inilah, wilayah di Sumatera Barat menjadi wilayah yang berkembang pesat dalam hal ekonomi dan pembangunan pada masanya.

(Redaksi)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *