inBISNIS.id, LABUAN BAJO – Aksi terorisme kembali ‘mengguncang’ tubuh Republik ini. Seorang pelaku ‘nekad’ menghabisi nyawanya sendiri dan sesamanya yang sedang khusyuk merayakan ritual Minggu Palma di Gereja Katedral Makassar (28/3) menggunakan bom.
Beruntung bom itu ‘meledak’ di pintu gerbang Gereja sehingga tidak banyak memakan korban.
Kendati demikian, aksi itu tetap menimbulkan ‘trauma psikologis’ baik para korban yang luka-luka, maupun segenap umat katolik yang beribadat di Gereja itu.
|Baca Juga: Berikut 5 Fakta Bom Bunuh Diri di Katedral Makassar
Teroris yang konyol itu telah menodai dan merampas kegembiraan umat yang sedang mengenang dan merayakan ‘kisah Tuhan Yesus Yang memasuki Yerusalem’ 2000-an tahun lalu.
Penyebaran pandemi Covid-19 relatif berkurang yang memungkinkan umat Katolik merayakan liturgi minggu palma di rumah ibadat. Sialnya, momen berahmat itu dipakai oleh teroris untuk memamerkan kuku kriminalitasnya.
Mengapa manusia begitu mudah berubah menjadi penjahat terorisme? Apakah kejahatan entitas inheren yang melekat pada tubuh manusia?
|Baca Juga: Indonesia Catat 7 Juta Pengangguran Baru Saat Pandemi
Padahal manusia adalah ‘binatang yang berakal budi’, tapi sayang pada sebian prang fakultas rasionalitas gagal menjalankan fungsinya untuk mengkontrol naluri kebitangan dalam dirinya. Akal budi takluk di bawah unsur animalitas itu.
Filsuf pencerahan dari Jerman, Immanuel Kant memberikan jawaban yang menurut saya cukup meyakinkan.
Kant berasumsi bahwa dalam diri manusia terdapat kecendrungan untuk bertindak melawan hukum moral yang diciptakan oleh akal budinya sendiri. Itu berarti potensi kejahatan merupakan bagian dari kodrat kemanusiaan kita. Naluri kejahatan bertumbuh subur di tengah ekosistem pendidikan yang mendewakan kekhasan diri atau kelompok serentak menegasi kelompok yang lain.
Baca Juga: Sudah Siapkah Labuan Bajo Menuju Pariwisata Kelas Dunia?
Para filsuf dan psikolog psikoanalis mengafirmasi dua tendensi energi yang kontras dalam tubuh manusia. Yang pertama adalah energi yang bersifat positif (eros). Jika energi ini lebih dominan, maka perilaku manusia lebih berorientasi pada kehidupan (biofilia). Tetapi, pada sisi lain ada juga energi negatif (thanatos) yang bersifat destruktif. Thanatos yang overdosis berkiblat pada aksi yang mematikan. Ada semacam kecenderungan untuk mencintai kematian (nekrofilia).
Hemat saya, tindakan brutal yang diperlihatkan para teroris dan kelompok intoleran disebabkan oleh ‘kelebihan energi destruktif’ ini. Mereka gagal mengendalikan kecenderugan nekrofilia dalam diri mereka. Kematian, baik dirinya sendiri maupun orang lain dipuja dan dicintai.
|Baca Juga: Tips Cegah Perilaku Konsumtif Jelang Resesi
Apakah pemujaan terhadap kultur kematian itu bisa diterapkan kapan dan di mana saja? Apakah mereka yang kelebihan unsur thanatos boleh melakukan kejahatan dengan tujuan dan alasan yang beragam? Saya berpikir, sangat berbahaya jika kita secara naif membenarkan dan menoleransi perilaku jahat para teroris meski dibungkus dengan jubah pseudo-religi.
Karena itu, kita mendukung dan mengapresiasi sikap tegas Negara dan semua elemen masyarakat yang dengan keras mengecam dan mengutuk aksi bom bunuh diri yang terjadi di Makasar itu. Tentu, harapannya reaksi itu tidak sebatas pernyataan verbal saja. Negara, dalam hal ini pihak kepolisian mesti mengusut dan membongkar ‘jaringan terorisme’ yang bergentayangan di republik ini. Perang terhadap teroris tidak kalah mendesaknya jika dibandingkan dengan perang melawan Covid-19.
(Redaksi)
Komentar