INBISNIS.ID – Kamu mau jadi wartawan? Atau sedang jadi jurnalis? Bagaimana kalau kemudian koran atau media tempatmu bekerja mengirimmu ke wilayah yang sedang dilanda konflik atau perang?
Pasti yang pertama terpikir adalah takut untuk meliput. Rasa nyeri yang akan muncul. Bayangan akan jadi korban konflik pun akan langsung tercetak di benak. Apalagi yang masih jomblo dan belum sempat nikah, atau yang orang tuanya berat untuk melepas, aaah.. Kalau mikirnya seperti itu sudah jangan pernah bayangkan jadi jurnalis perang.
Ya, tugas di wilayah konflik atau yang sedang dilanda perang bukan perkara mudah. Justru tugas yang sangat berat. Mau dia tentara atau wartawan, resikonya sama, nyawa jadi taruhannya. Sebab dalam perang peluru tak punya mata.
Meski sudah ada konvensi internasional dalam perang wartawan tak boleh jadi sasaran yang sedang bertikai, tetap saja selalu ada wartawan yang jadi korban. Di Suriah misalnya atau di Irak, kelompok ISIS pernah mengeksekusi wartawan yang sedang bertugas meliput di sana. Cara eksekusinya pun sangat sadis, dengan cara dipenggal. Jadi, sangat berat jadi wartawan di medan perang. Butuh nyali besar. Jika tak punya nyali, pertama datang ke medan liputan, lalu terjebak oleh sebuah pertempuran, mungkin akan terkencing-kencing.
Tapi, banyak yang mengatakan, jadi wartawan perang prestisenya lain. Lebih gagah dan terhormat. Wartawan yang pernah bertugas di arena perang, lebih dihormati. Bahkan banyak yang dapat penghargaan. Thomas L Friedman, John Kifner, dan Sydney Schanberg adalah beberapa nama wartawan hebat yang pernah bertugas di medan konflik. Ketiganya wartawan dari koran terbesar di Amerika Serikat, New York Times.
Nah soal nyali wartawan di Medan perang, ada sebuah kisah yang menarik dari Sydney Schanberg, Wartawan New York Times. Ketika itu, Sydney Schanberg ditugaskan jadi koresponden di Kamboja. Entah harus dibilang apes atau beruntung, saat itu negeri tersebut sedang bergolak. Salah satu pergolakan paling sengit dan berbahaya dalam sejarah.
Kelompok Khmer Merah tengah menggeliat. Perang pun pecah antara kelompok yang disokong Amerika dengan kelompok Khmer Merah. Situasi pun jadi serba tak pasti. Bahkan mencekam. Kelompok Khmer Merah banyak melakukan tindakan brutal. Melakukan pembunuhan demi pembunuhan dengan cara di luar akal sehat manusia.
Siapa pun yang dicurigai antek pemerintah Kamboja langsung disikat, disiksa bagai binatang. Korban pun berjatuhan jadi tumbal kekejaman Khmer Merah. Karena situasi sudah tak pasti, dan kelompok Khmer Merah di atas angin, Sydney pun oleh kantornya diminta segera keluar dari Kamboja. Tapi apa jawaban Sydney?
Mungkin, kalau dia bernyali tempe, akan langsung terbang keluar dari Kamboja daripada jadi korban kebrutalan kelompok Khmer Merah. Tapi Sydney menolak perintah untuk pulang kandang. Ia memilih untuk bertahan di Kamboja. Dan yang dikhawatirkan pun terjadi, Sydney ditahan oleh kelompok Khmer Merah. Bersama sandera lain, ia dibawa ke wilayah perbatasan Thailand. Untungnya Sydney dibebaskan. Setelah itu Sydney membuat laporan jurnalistiknya yang sangat mengagumkan tentang Kamboja.
Dan laporannya diganjar Pulitzer. Coba kalau urat nyali Sydney tak putus, dan lebih memilih pulang ketika diperintahkan keluar dari Kamboja, namanya tentu tak akan tercatat dalam sejarah jurnalisme Amerika. Dia tak akan dapat Pulitzer. Jadi mau jadi wartawan perang itu, syaratnya hanya satu, urat takut sudah putus.
(Redaksi)
Komentar