INBISNIS.ID, BALI – Paiketan Krama Bali belakangan ini concern mencermati perkembangan LPD. Kondisi sejumlah LPD di Bali yang telah mengalami sakit menahun, kemudian di masa pandemi ini beberapa mengalami masalah karena tidak mampu membayar uang nasabah dan bahkan ada yang berurusan dengan pihak berwajib.
Di sisi lain, LPD ibarat “supply darah” bagi kegiatan adat istiadat, budaya dan agama di Desa Adat. Keberadaan LPD menjadi sangat strategis dalam melestarikan Adat dan Budaya Bali dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan atas Pancasila, yang diapresiasi dengan penganugerahan piagam kepada 10 LPD Terbaik se-Provinsi Bali.
Demikian terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) HUT ke-5 Paiketan Krama Bali, 1 Juni 2022 dengan tajuk, “LPD Sehat Desa Adat dan Bali Selamat, NKRI dan Pancasila Kuat” di Rooftop Krisna Oleh Oleh Bali di Tuban, Kuta, Rabu (1/6/2022).
Dalam diskusi tersebut terungkap fakta, belakangan akibat kesalahan tata kelola, lemahnya pengawasan, minimnya pembinaan, nihilnya perlindungan, dan tidak sinkronnya regulasi, telah menyeret beberapa oknum pengurus dan perangkat desa di beberapa LPD terlibat korupsi sehingga merusak citra LPD.
Kendati jumlah LPD bermasalah hukum hanya 2% dari keseluruhan LPD di Bali, namun kasus LPD ini telah merusak citra LPD dan menurunkan kepercayaan krama desa adat untuk menabung di LPD.
Keadaan ini diperparah oleh masuknya aparat untuk menangani penyimpangan/korupsi oknum pengurus, karena diduga merugikan negara, padahal yang dirugikan adalah krama adat. Sebagai sebuah Labda Pacingkreman Desa, LPD mestinya mampu menyelesaikan permasalahan internalnya dengan cara yang telah ditentukan dalam awig-awig dan pararem yang berlaku di desa setempat.
Faktor lemahnya pengawasan, pemeriksaan dan pembinaan terhadap LPD menyumbang peran yang dominan dalam karut-marut masalah LPD. Prof Ramantha dalam tulisannya menyatakan bahwa putusan pengadilan terhadap korupsi LPD sangat tidak memenuhi rasa keadilan Krama Adat, karena modal LPD dan uang milik Krama Adat yang sebelumnya dikorupsi justru disetor ke kas negara, ini aneh. Padahal pemerintah hanya pernah bantu LPD dalam kisaran 2 sampai dengan 10 juta.
Kasus penggelapan uang oleh oknum pengurus LPD, jika berdasarkan putusan pengadilan uangnya harus disetor ke kas negara (bukan ke kas LPD) menurut Prof. I Wayan Ramantha, jelas akan sangat mengganggu kesehatan LPD karena uang LPD hampir sepenuhnya berasal dari dana masyarakat (bukan dana dari Negara).
Ramantha berharap, penegakan hukum dan penegakan prinsip-prinsip keuangan dapat berjalan seirama dalam membantu penegakan jalan LPD, guna menunjang kemandirian Desa Adat di Bali.
Ancaman selanjutnya, LPD mulai diendus menjadi sasaran wajib pajak, sebagai sebuah Labda Pacingkreman Padruwen Desa Adat, LPD tidak mencari untung, semua pendapatan LPD kembali menjadi milik krama adat melalui jasa produksi dan bantuan sosial dan upakara.
“Tidak sepeserpun harta benda yang dimiliki oleh LPD, semua harta benda yang berada di LPD adalah milik krama Desa Adat. Oleh karena itu, LPD bukanlah objek pajak,” demikian tegas I Wayan Jondra dalam makalahnya.
Dr. Ir. I Wayan Jondra yang juga Ketua Umum Paiketan Krama Bali dan Sekretaris Tim Tata Kelola LPD Ketewel menyatakan, untuk mewujudkan LPD yang akuntabel dan kompetitif dalam upaya mengatasi permasalahan keterbatasan Panureksa dan LPLPD, maka dibutuhkan pemeriksaan berlapis terhadap LPD.
“Pemeriksaan di samping dilakukan oleh Panureksa dan LPLPD, pemeriksaan juga dapat dilakukan oleh tim khusus bentukan Paruman Desa yang terdiri atas perwakilan krama desa dan dapat dibantu oleh profesional serta akademisi yang mumpuni, tim khusus yang bersifat ad-hoc ini bertindak untuk dan atas nama Krama Desa Adat yang hasil kerjanya diputuskan/ditetapkan dalam Paruman Sabha Desa,” paparnya.
Menurut Pembina Umum Paiketan Krama Bali, Prof. Dr. I.B. Raka Suardana, S.E, M.M yang juga Guru Besar Manajemen Univ. Pendidikan Nasional (Undiknas), selama ini, kelemahan tata kelola (governance) memberikan peluang penyalahgunaan wewenang oleh pengurus, yang jelas merugikan dan membangkrutkan sebuah LPD.
“Bila tidak didukung oleh sistem manajemen operasional yang memadai, LPD dapat juga bisa hancur karena ulah pengurus dan karyawannya,” ujarnya.
Jika terjadi kesalahan dalam tata kelola keuangan, memang sudah ada aturan tentang ancaman sanksi terhadap praktek penyimpangan keuangan LPD tersebut sesuai Perda LPD No. 3 tahun 2017.
“Untuk mencegah penyalahgunaan wewenang, Tata kelola LPD sangat membutuhkan tim pemeriksa yang berlapis-lapis agar LPD tetap sehat,” imbuh Prof Suardana.
Prof. Raka Suardana berharap, pemerintah jangan sampai menyerahkan sepenuhnya manajemen pengelolaan LPD berjalan sendiri. Suntikan program peningkatan kualitas manajerial sistem pengelolaan keuangan yang memihak krama desa, amat penting untuk menjaga kinerja positif LPD tersebut.
Suntikan program dimaksud tentu berkaitan pula dengan tuntutan sistem pengelolaan keuangan modern di lingkungan LPD. Menurutnya, jika pencitraan positif manajemen LPD dapat tumbuh, maka pada akhirnya akan dapat menjadikan LPD menjadi “lebih pede.”
Kontribusi LPD dalam memelihara adat dan Budaya Bali menurut Bendesa Adat Kedonganan, Dr. I Wayan Mertha, M.Si menyatakan, di Desa Adat Kedonganan, paling tidak dikeluarkan uang Rp700 juta per tahun, hanya untuk upacara rutin di Pura Kahyangan Desa, (rerahinan dan piodalan).
“Kalau ditambahkan Upacara Panca Yadnya lainnya, apalagi untuk sebuah Karya Pedudusan misalnya, pastilah angka nolnya berjejer lebih banyak,” kata Mertha.
Apalagi dijumlahkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh seluruh krama desa untuk melaksanakan upacara agama, adat, budaya, dan tradisi yang dilaksanakan setiap hari. Sebagian dari beban biaya tersebut ditopang oleh LPD Desa Adat Kedonganan.
“Sisa Hasil Usaha yang selama ini diberi label keuntungan, dikembalikan kepada krama desa adat untuk membantu pembiayaan upacara Adat, Agama, Budaya dan tradisi Bali agar tetap lestari. Walaupun tidak bisa membiayai semua pengeluaran untuk kegiatan budaya tadi, namun bantuan LPD sangat dirasakan masyarakat,” beber I Wayan Mertha.
Senada dengan I Wayan Mertha, Tokoh Desa Adat Legian, salah satu Pembina Paiketan Krama Bali, Ir. Anak Agung Ketut Sujana, MBA menyatakan, LPD dengan misinya tidak mementingkan profit materi semata, akan tetapi benefit dan dampak positif yang diterima oleh Krama Desa atas misi yang telah dijalankan.
“Sehingga kewajiban dalam bidang Tri Hita Karana dapat terwujud dalam upaya menciptakan Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharmah,” cetusnya.
Peran LPD dari sisi pendidikan bagi krama Desa Adat juga tak kalah penting. Praktisi pendidikan, Dr. I Nengah Laba, M.Pd menyatakan, keterbatasan pemerintah dalam memberikan dan mewujudkan asas keadilan dalam memberikan hak akses yang sama kepada masyarakat kurang mampu di dunia pendidikan, membuka peluang bagi LPD untuk mengambil peran melalui gerakan orang tua asuh tingkat desa.
“LPD dapat diperankan sebagai lembaga keuangan untuk menampung dana-dana warga desa setempat yang berhasil secara ekonomi di desa dan/atau sukses di perantauan yang ingin menjadi orang tua asuh. Orang tua asuh dengan prinsip saling asah, asih dan asuh di wilayah desa dapat menampung dana bantuan siswa kurang mampu di LPD setempat,” jelas Laba.
Dalam konteks ini, LPD jelas dapat membantu mewujudkan pendidikan berkeadilan. Sumbangan sisa hasil usaha dari LPD sebesar 20% juga dapat dialokasikan untuk membantu biaya pendidikan anak-anak kurang mampu secara ekonomi.
Dari aspek hukum, Ketua LBH Paiketan Krama Bali, I Wayan Gde Mardika, S.H, M.H menyatakan, Negara mengakui eksistensi Desa Adat beserta hak-haknya yang diatur dengan hukum adat, termasuk LPD sebagai Lembaga Keuangan yang sepenuhnya dimiliki oleh Adat dalam rangka meningkatkan perekonomian masyarakat Adat sehingga keberadaan LPD sangatlah penting untuk menjaga eksistensi.
Desa Adat dalam hal menjaga Adat istiadat Bali, Mardika mengurai sejarah munculnya LPD sejak adanya Surat Keputusan (SK) Gubernur No. 972 Tahun 1984 tentang Pendirian LPD di Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Kemudian LPD diatur dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa (LPD), yang kemudian diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang LPD, yang kemudian dicabut dan diganti dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2017 yang masih berlaku saat ini. Sementara itu, keberadaan Desa Adat dan LPD juga diakui oleh UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, terutama pasal 39 ayat (3).
“Bunyinya, Lembaga Perkreditan Desa dan Lumbung Pitih Nagari serta lembaga sejenis yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, keberadaannya dinyatakan diakui berdasarkan hukum adat dan tidak tunduk pada Undang- Undang ini,” tuturnya.
Penguatan eksistensi LPD juga diatur dalam Perda No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali tepatnya Pasal 1 angka 34 yang menentukan: “Labda Pacingkreman Desa Adat yang selanjutnya disebut LPD adalah Lembaga Perkreditan Desa milik Desa Adat yang berkedudukan di Wewidangan Desa Adat.”
“Memperhatikan hal tersebut secara hukum keberadaan LPD akan turut serta menjaga NKRI dan Pancasila semakin kuat di bumi pertiwi ini,” tandas Mardika.
Terkait keinginan petugas pajak menjadikan LPD sebagai wajib pajak (WP), I Wayan Jondra menyitir Undang-undang No 28 Tahun 2007 tentang pengertian wajib pajak. Dijelaskan bahwa : Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
“Dari definisi ini sudah jelas, LPD bukanlah badan karena tidak memiliki akta pendirian, dan jelas pula bukan orang pribadi. Dengan pengertian ini maka LPD bukanlah wajib pajak. LPD tidak mencari keuntungan sehingga tidak perlu membuat Nomor Wajib Pajak” tulis Jondra.
Sedangkan Akademisi Unud Dr. IDG Palguna, S.H, M.H., menegaskan bahwa bantuan pemerintah daerah di LPD bukan merupakan penyertaan modal hanya donasi. “Pemerintah jangan mengatakan itu menjadi hibah. Tetapi sejak dahulu kalau pemerintah daerah mengatakan itu bukan penyertaan modal tapi donasi, sehingga tidak ada unsur merugikan negara,” tegas Palguna.
Selain itu Ia menginginkan LPD agar lebih berperan membantu pendidikan krama Bali. “Jika ada 1400 LPD yang membantu paling tidak 1 orang siswa saja dari krama Bali maka tentu akan terentaskan kemiskinan. Dan selanjutnya dia akan melakukan hal yang sama ketika dia sukses,” pungkasnya.
(Redaksi)
Well, Silahkan tulis pendapatnya di kolom komentar ya.
Komentar