oleh

BPN Nagekeo, NTT Tolak Buka Data, Masyarakat Adat Minta Gelar Sumpah Adat

-Daerah-467 views

INBISNIS.ID, NAGEKEO – Badan Pertanahan Nasional (BPN) kabupaten Nagekeo, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menolak membuka data peta bidang tanah pembangunan waduk Lambo, kepada masyarakat Adat Labolewa, kecamatan Aesesa.

Hal tersebut menimbulkan kekecewaan masyarakat Adat Labolewa, yang mendatangi Kantor BPN Nagekeo, pada Jumat (19/11/2021), siang.

Masyarakat adat Labolewa mengancam akan memasang  plang larangan di lokasi titik nol Proyek Strategis Nasional (PSN), pembangunan waduk Lambo  hingga menantang menggelar sumpah adat.

Jika sebelumnya, pada tanggal 15 November 2021 masyarakat adat Labolewa tidak diterima oleh Kepala Kantor (Kakan)

BPN Nagekeo dengan alasan sedang melakukan rapat virtual, kali ini kedatangan masyarakat adat Labolewa ke Kantor BPN disambut baik oleh Kepala BPN Nagekeo, Dominikus B. Insetuan.

Meski diterima Dominikus, namun nahas, pertemuan yang digelar masyarakat adat Labolewa dengan niat meminta informasi hasil pendataan tanah milik masyarakat adat Labolewa tidak membuahkan hasil, pasalnya kepala BPN Nagekeo bersikeras menolak untuk membeberkan peta bidang tanah yang dicatat BPN kepada masyarakat adat Labolewa.

Urbanus Papu, Salah satu tokoh adat masyarakat Labolewa kepada INBISNIS.ID mengemukakan bahwa kedatangan mereka ke kantor BPN adalah meminta BPN Nagekeo membeberkan peta bidang tanah dan memastikan hak-hak mereka terakomodir secara baik oleh BPN Nagekeo.

“Kedatangan kami hari ini ke BPN, kami mau menuntut buka data, buka peta, ada kaitan dengan hak-hak kami yang tidak diakomodir. Dasarnya 8 November itu, hak kami, tanah kami, sudah ada musyawarah penetapan untuk harga tanah,” Jelas Urbanus.

“Kami melihat ada penggarap di tanah kami ini, yang diakomodir, tetapi Kepastian hak kami tidak terjawab. Hari ini kami datang buka peta,” Tegas Urbanus Papu.

Urbanus mengaku Pemerintah dan BPN Nagekeo tidak menghiraukan suku-suku  yang memiliki hak ulayat seperti suku Ebu Dai dan Ana Nuwa dalam musyawarah ganti rugi tanah, Justru BPN mengundang masyarakat yang sesungguhnya tidak memiliki hak atas tanah ulayat masyarakat adat Labolewa.

“Yang terjadi pada tanggal 8 November itu yang kami tahu, yang mempunyai hak suku di Labo, Lele, Kawa ini, suku Ebu Dai tidak diundang, suku Ana Nuwa tidak diundang.  Padahal suku ini yang memiliki hak, yang punya tanah warisan tidak diundang,” Ungkapnya.

“Penetapan musyawarah 8 November itu, ada suku baru, suku Wawo Lobotoro dan suku Labo, itu ada undang dari Tim. Kalau ada undang berarti orang ini turut memberikan hak dia dalam penetapan harga tanah, padahal bukan dia punya hak. Tidak ada suku di Labolewa yang namanya, suku Labo dan Wawo Lobotoro, ” Tandas Urbanus.

Kata Urbanus, dalam pertemuan tersebut kepala BPN Nagekeo malah meminta agar masyarakat adat dimediasi oleh pemerintahan kecamatan terlebih dahulu dan kemudian menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang tertuang dalam bentuk berita acara sebagai acuan BPN untuk merubah data.

“kami melihat pernyataan Pak Kakan (Kepala Kantor) ini, rancu juga Pak. Dasarnya apa?, Dasar berita acara kata Kata Kakan. Seharusnya mereka jangan dulu buat musyawarah penetapan harga tanah. Itu yang rancu. Kalau memang Sudah ada musyawarah penetapan harga tanah, ini sangat terganggu karena kepunyaan yang punya hak tadi, dia akan terpisah kepada yang tidak punya hak, sementara mereka hanya menggarap,” Urainya.

“Yang kedua, sangat fatal juga kalau memang sudah ada transaksi. Pembayar dan penerima, transaksinya sudah jalan, itu bahaya sekali, Imbuhnya.

Atas nama masyarakat adat Labolewa, Urbanus meminta agar BPN Nagekeo bersikap transparan terhadap data peta bidang tanah milik masyarakat adat Labolewa.

“Kami minta BPN harus mengambil sikap yang serius tentang hak kami, kalau tidak pernyataan kami, pertama, kami tunggu lokasi, yang kedua, kami persekutuan Labo, Lele, Kawa ini, kami datang ke Agraria, banyak orang, punya hak sama, kami tuntut harus buka Peta,” Ungkapnya dengan tegas.

Hal senada diungkapkan oleh Wilem Napa,  juga merupakan tokoh masyarakat adat Labolewa yang meminta agar Kepala BPN Nagekeo bersikap bijaksana dan mengakomodir hak-hak masyarakat adat Labolewa.

Wilem mengatakan bahwa jika kepala BPN tidak beritikad baik, pihaknya akan melakukan pemasangan plang larangan di lokasi waduk Lambo, hingga mengajak pihak-pihak terkait menggelar sumpah adat.

“Harapan dari Kakan ini, Dia harus secara bijaksana, dia harus mengakomodir hak-hak orang karena karena semua administrasi ada di Pertanahan. Kalau soal genangan itu bukan hak dia, itu gawainya BWS, tapi kalau persoalan tentang hak diatas tanah, dia yang harus tanggung jawab. Dia harus bijak mengambil kesimpulan agar hak-haknya sama,” Papar Wilem.

“Yang saya bicara ini sebagai pemilik tanah warisan yang saya pertahankan. Ada semua titik diakhir genangan. kalau Kawa di awal pembangunan, dari Labo ditengah yang dengan ritual adatnya, kubur nenek moyang, lalu saya secara pribadi tanah hak dari Lele, bukan suku, tanah hak yang ada di akhir genangan, yang sekarang sudah ada penggarap-penggarap semua yang jadi tuan tanah, ” Jelas Wilem Napa.

“Kita sudah ajukan keberatan, kita datang kesini sampai 3 kali, pak Kakan selalu kembali ke desa, sampai di desa tidak urus. Ini Aneh, terakhir penggarap jadi tuan tanah. saya omong ini bukan ulayat tapi tidak dihargai, selalu bilang ke Pengadilan. Kalau ke Pengadilan, kami Labo, Lele, Kawa tunggu di lokasi, naik plang di titik Nol, terakhir panggil mereka-mereka itu, kita datang sumpah di lokasi, ” Tegas Wilem yang dikutip INBISNIS.ID, Jumat (19/11) siang.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *