INBISNIS.ID – Shinta Rini, ialah sosok single mom yang sempat mengalami luka batin setelah suami meninggal. Bahkan, psikolog mendiagnosis dia delay depression.
Shinta merupakan seorang ibu hebat asal Balikpapan, Kalimantan Timur, yang ingin berbagi cerita tentang pengalamannya mengalami luka batin setelah suami meninggal. Ya, kepergian sang suami menghadap Tuhan menyisakan kepedihan amat mendalam bagi ibu dua orang anak ini.
Lantas, bagaimana Shinta, sapaan akrabnya, menyembuhkan serta berdamai dengan luka tersebut?
Rasanya sulit menerima kenyataan bahwa suami tercinta harus pergi untuk selamanya. Akan ada luka dalam batin yang mungkin bisa berdampak pada kehidupan selanjutnya.
Lima tahun silam, sang suami tercinta meninggalkan ia dan kedua anaknya karena sakit kanker. Hal itu membuat Shinta memiliki peran ganda, yakni sebagai ibu juga ayah. Saat menjalaninya memang tidak mudah, apalagi ia harus berperang dengan luka batin yang dialaminya.
Shinta dikenal sebagai seorang Psikolog Associate di sebuah biro psikologi daerah Balikpapan. Selama pandemi, ia melayani konseling online,tetapi tetap memberikan pelayanan kepada klien yang ingin berkonsultasi secara offline. Shinta pun menjalani pekerjaan sebagai terapi.
“Saya setiap hari Kamis tiap pekannya melayani terapi untuk anak-anak special needs di klinik Calling Start. Kalau untuk weekend biasanya kerja jika ada undangan sebagai pembicara online,” ungkapnya.
“Saat pandemi ini, kalau untuk bersama anak, Alhamdulillah Allah kasih sayag kesempatan untuk lebih mengenal dan mendidik mereka. Bahkan bisa full merasakan sebagai ibu rumah tangga dan orang tua meskipun saya bekerja di ranah publik,” lanjut Shinta.
Bukan hal yang mudah untuk Shinta saat takdir Tuhan mengharuskannya berpisah dengan suami. Bahkan sampai saat ini, Shinta mengakui bahwa ia masih terus berikhtiar untuk berdamai atas kehilangan suami yang sangat dicintainya.
Ia terus berusaha untuk menerima setiap takdir Tuhan yang diberikan kepadanya dan meyakini bahwa kondisi ini adalah yang terbaik untuknya.
Akan tetapi, selama proses “penerimaan” tersebut, Shinta mengakui bahwa pernah berada di titik terendah selama sekitar 4 bulan. Sebab, ia belum siap menerima kenyataan untuk kehilangan suaminya.
“Seorang psikolog pernah mengatakan kepada saya, bahwa saya mengalami “delay depression” karena saat suami saya meninggal, di mana saya merasa ingin menangis dan dipeluk oleh orang tua saya. Ketika itu, saya merasa dalam kondisi terpuruk dan lemah tanpa kekuatan. Namun orangtua menyuruh saya kuat untuk anak-anak dan tidak boleh menampilkan kesedihan. Itu akan membuat anak-anak tambah sedih,” cerita Shinta.
“Saat itu saya merasa harus menekan perasaan saya, agar diterima orangtua saya. Waktu memandikan jenazah, mengafani, menyalatkan dan menguburkan jenazah suami, saya merasa tidak menjadi diri sendiri.
Saya merasa harus menutupi kesedihan dan harus kuat. Sehingga saya tidak bisa menangis dan terlihat sedih saat semua prosesi berlangsung. Keluarga yang melihat mengira saya tidak sedih kehilangan suami karena tidak tampak kesedihan.
Sepulangnya semua keluarga ke rumah, saya merasa baru bisa leluasa menampilkan kesedihan dengan menangis setiap hari sampai tidak fokus mengasuh anak-anak,” sambungnya.
Proses penyembuhan luka batin setelah suami meninggal depresi saat suami meninggal, seorang ibu:
Mencoba pura-pura tegar dan kuat ketika suami tercintanya meninggal justru menjadi titik di mana ia selalu merasa bersalah. Perasaan itu pun timbul secara kuat saat ada tuduhan dari pihak keluarga bahwa dirinya tak bisa menjadi istri dan mengurus suami.
“Saya paham bahwa ini adalah efek dari kesedihan yang tidak boleh saya tampilkan saat suami meninggal dunia. Selama suami meninggal, muncul banyak perasaan bersalah karena saya merasa belum bisa menjadi istri dengan bakti yang baiknya.
Apalagi ada tuduhan dari keluarga. Bahwa saya tidak bisa mengurus suami dengan baik selama mendampingi suami S3 di Korea Selatan. Sehingga menderita sakit kanker yang merenggut nyawa suami,” curhat Shinta.
Kehilangan suami merupakan ujian terbesar dalam hidupnya. Tambah lagi, kondisinya saat itu tidak dekat dengan orangtua, mertua, dan keluarga lainnya. Sebab ia banyak merantau dan ada inner child yang belum tuntas.
Setelah setahun kehilangan suami, Shinta mencoba ikhtiar untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Bahkan menyembuhkan luka batin di masa lalunya.
Artikel terkait: “Keadaan Membuat Kami Belajar Sabar,” Kisah Ibu yang Anaknya Microcephaly dan Cerebral Palsy. Ia pun bertemu dengan seorang terapis, Yuli Suliswdiati. Lalu menjalankan terapi DEPTH.
“Setelah melakukan terapi DEPTH itulah, titik balik saya. Bu Yuli menyarankan saya untuk mengikuti pelatihan dan mengambil certified terapis DEPTH. Alhamdulillah, saya bisa berdamai dengan diri sendiri dan lebih ikhlas menerima kenyataan bahwa suami saya sudah meninggal.
Saat ini pun, saya benar-benar sudah merasakan ketenangan, kemudahan, dan lebih dekat dengan Allah. Saya menyadari, ternyata meski kehilangan suami tercinta, Allah akan selalu ada dan membimbing kita. Saya lebih banyak bersyukur dan bahagia.
Semenjak itu pula, saya mendalami beberapa teknik terapi self healing untuk membantu teman-teman yang membutuhkan pendampingan. Itu pun menjadi healing journey saya.
Alhamdulillah kepergian suami ternyata membuat lebih mengenal diri, mencintai Allah, dekat dengan keluarga. Bahkan bisa membantu teman-teman yang punya luka batin di masa lalu. Tak selamanya musibah membawa luka, ternyata membawa kebaikan dan keberkahan buat diri sendiri dan banyak orang,” ujar Shinta.
Perjalanan Shinta Rini Menjadi Single Mom dalam Membersamai Dua Orang Anak
Luka Batin setelah Suami Meninggal
“Alhamdulillah selama 5 tahun menjalani kehidupan sebagai single mom saya mengalami jatuh bangun dalam menjalaninya. Banyak orang mengira bahwa sebagai psikolog, pasti semuanya terasa mudah bagi saya. Ada tuntutan besar dari orang lain bahwa seharusnya saya bisa melakukannya dengan baik dan sempurna.
Selama menjadi single mom tentu ada banyak perjuangan yang tidak mudah dilalui. Bagaimana saya menjalani peran sebagai ibu yang menafkahi anak-anak, mendampingi dan mendidik anak-anak, sampai mengurus rumah. Dulu saya sering mengalami insomnia karena sulit tidur malam. Merasa kesepian dan tidak ada orang untuk menjadi tempat berbagi beban.
Semua keluarga menuntut saya harus bisa jadi ibu yang sempurna tanpa cela. Saya berusaha belajar mencintai diri saya, dengan gelap dan terang yang saya miliki. Belajar untuk tidak berharap lebih pada orang lain, menerima semua kelemahan saya, mengakui keterbatasan diri dan mengapresiasi apapun yang berhasil dilalui.
Ketika itu, saya bergantung penuh kepada Allah sehingga lebih kuat melewati semuanya. Alhamdulillah mulai muncul keberanian untuk bermimpi, keyakinan diri bahwa single parent juga bisa menghasilkan anak-anak yang luar biasa.
Meski hanya memiliki satu sayap, berani untuk yakin bisa meraih sesuatu karena Allah pasti akan membantu. Alhamdulillah saya merasa Allah membimbing dan memudahkan segala ikhtiar dalam mendidik anak. Bahkan mencari rezeki, menjadi diri sendiri dan bermanfaat buat orang lain dengan segala aktivitas saya,” jelas Shinta.
Cara Mengatur Waktu dalam Menjalankan Tanggung Jawab sebagai Ibu dan Psikolog
“Sebab saat ini anak-anak masih membutuhkan pendampingan yang besar, tentu prioritas mereka lebih utama. Sehingga pekerjaan harus bisa diatur agar tidak ada anak-anak yang terzalimi dengan kesibukan bekerja saya.
Selain itu saya terus meminta kepada Allah agar terus dimampukan, dikuatkan, dimudahkan dan dibimbing menjalani peran dan tanggung jawab saya.
Jika hasilnya tidak optimal karena keterbatasan saya, biasanya saya berusaha menerima “acceptance”. Mengasihi diri sendiri bahwa ini sudah dilakukan yang terbaik.
Apapun hasil akhir yang Allah berikan, saya berusaha menerima dan berfikir positif bahwa ini adalah yang terbaik buat saya dan anak-anak,” kata Shinta.
Tantangan Menjalankan Peran Ibu dan Ayah Luka Batin setelah Suami Meninggal
Ada banyak tantangan yang ditemui ketika Shinta menjalankan peran ibu dan ayah sekaligus dalam satu waktu. Ia pun mengakui bahwa dahulu dirinya selalu berusaha menjadi double peran. Namun ia merasa lelah dan tidak berdaya.
Sampai pada akhirnya ia sadar bahwa perannya tetap seorang ibu yang mengasuh, mendidik, dan mencari nafkah untuk anak-anak. Ia pun tidak mengambil peran ayah, kerena dirinya paham seorang ibu tetaplah ibu dengan segala sikapnya.
Shinta pun lebih memilih untuk banyak berdiskusi dengan anak-anak. Memberikan pandangan bagaimana mereka melakukan sesuatu, membimbing anak-anak dalam menjalani kehidupannya serta mengevaluasi dan memberikan apresiasi. Apa pun yang dilakukan anak-anak tetap diberikan apresiasi.
“Hal itu malah lebih mudah diterima oleh anak-anak,” ungkapnya.
Shinta dan kedua anaknya pun belajar untuk menikmati proses dalam menjalani kehidupan. Saat berada di situasi terpuruk dan sulit, Shinta akan berusaha menguatkan anak-anaknya. Menerima segala kondisi anak-anaknya.
Bahkan ketika mereka ingin punya ayah lagi, Shinta pun menerima. Sebab, Shinta paham bahwa anak membutuhkan figur dan kasih sayang seorang ayah.
Ia selalu berdoa semoga Allah selalu memberi suami, ayah, dan pendamping hidup yang terbaik. Menyayangi dan bisa membimbing.
(Redaksi)
Komentar