INBISNIS.ID – Cinta memang salah satu pondasi penting pernikahan. Hanya saja, ketika terjadi masalah di antara pasangan dan cinta dirasa sudah tak ada lagi, bisakah pernikahan itu bertahan?
Juminten, bunda tiga anak, sudah lebih dari lima tahun menjalani rumah tangga tanpa cinta. Kata Aini selama ini memang dia tinggal seatap dengan sang suami, tapi, nggak ada lagi keintiman, kehangatan, dan kedekatan dengan sang suami. Berkomunikasi pun ala kadarnya.
“Kami bertahan. Anak-anak juga udah tahu masalah ini dan mereka bisa menerima. Ya walaupun gitu ya, di rumah saya tidur terpisah sama suami karena kami punya kamar masing-masing. Kalau ngobrol kita ala kadarnya aja. Tapi, kami sendiri tidak ada niatan untuk bercerai,” kata Juminten.
Hmm, kalau ditelisik lebih jauh, bisakah pernikahan bertahan ketika nggak ada lagi cinta di antara suami dan istri? Menurut psikolog klinis dewasa Pingkan , bertahan dalam arti tetap ada surat nikah dan belum ada surat cerai, bisa saja terjadi. Tapi, kualitas hubungan dalam rumah tangga antara si suami dan istri sudah jelas tidak baik.
Ketika orang sudah tidak ingin berada dalam kehidupan seperti itu, kata Pingkan, bukan tidak mungkin yang bersangkutan merasa tertekan dan stres. Ini pun terbawa ke masalah pekerjaan dan pasangan. Dengan kata lain, semacam tidak ada lagi ikatan emosional dan keadaan itu menekan.
“Mau ketemu orang baru susah karena kita masih dalam keadaan itu. Jadi, apakah bisa bertahan sebuah rumah tangga tanpa adanya cinta? Bisa, tapi dalam kualitas yang tidak baik. Ini sama kayak orang tidak bercerai karena memikirkan anak-anak,” kata nya yang juga selaku Dosen.
Saat pernikahan bertahan meski sudah tidak ada lagi cinta antara suami dan istri, apa dampaknya buat anak? Katanya, meski masih kecil, anak bisa merasakan kalau orang tuanya dalam kondisi bersitegang. Untuk anak di bawah usia 5 tahun, bukan tidak mungkin juga mereka akan menyangka bunda dan ayahnya berseteru gara-gara dia, Bun.
“Efek untuk si anak kelak bisa dua. Antara dia sangat tidak mau atau trauma dengan pernikahan karena tidak mau mengulang kesalahan orang tuanya, atau saat dia bertemu seseorang, dia akan berusaha keras supaya lebih siap untuk menikah dan tidak mengulang apa yang terjadi pada orang tuanya,”
Berangkat dari hasil survei yang dilakukan nya mengatakan justru makin tinggi konflik orang tua semakin tinggi persiapan si anak terkait pernikahan. Misalnya, si anak berkomunikasi dengan calon pasangannya soal pengasuhan anak atau waktu luang mereka. Dengan kata lain, apa yang terjadi pada orang tuanya dijadikan pelajaran oleh si anak.
(Redaksi)
Komentar