INBISNIS, FAKFAK – Tak terasa 29 tahun sudah kita tinggalkan sekolah yang sampai saat ini masih berdiri kokoh. Meski banyak perubahan dari segi fisik bagunan, namun perubahan itu tidak menghilangkan jejak 29 tahun lalu.
Salah satu kenangan diluar sekolah yang tak terlupakan yaitu pedagang nasi kuning yang berlokasi di sebelah barat lapangan basket, tepatnya di depan kantor PELNI (tete Kokas). Setiap jam beristirahat, semua pasti berkumpul disana, begitu pula toko Varia dengan kue pia nya, kita 4 orang yang pergi beli 1 kue pia tapi dapatnya 5 itulah cara Otis, padahal hanya bawa uang cukup untuk 1 kue pia.
Saat ini di depan sekolah ada sebuah kedai kopi yang bernama DIJIKU. Saya selalu berkesempatan untuk nongkrong disana. Pemilik warung kopi melihat intensitas saya berkunjung disana dan mereka berpikir pasti kopinya enak sesuai selera saya. Pemilik warung menawarkan saya beberapa menu bahkan meminta saya untuk mengusulkan menu sesuai selera saya. Saya maknai tawaran itu sebagai bagian dari cara warung membetahkan pelanggan, tetapi saya memilih jawaban yang cukup singkat, ‘semua yang ada di warung ini enak.’ Melihat ekspresi pemilik warung atas jawaban itu, ada rasa bangganya tetapi juga ada kesan multi tafsir.
Saya sempat meninggalkan Fakfak selama seminggu. Begitu kembali ke Fakfak seperti biasa saya berkunjung lagi ada sedikit perubahan, yang melayani request kopi saya adalah dua gadis baru entah secara kebetulan atau memang ini bagian dari terjemahan atas statement semua yang diwarung ini enak? Hanya mereka yang bisa jelaskan. Ada 1 galeri yang terpasang di dinding bertuliskan KOPI SAJA PAHIT APALAGI KO PIGI mungkin tulisan ini secara kebetulan didesain oleh pemilik warung sebagai motto mereka, tetapi saya memaknai berbeda seolah olah tulisan ini mewakili ratapan sekolah terhadap kita.
Suatu ketika saya janjian dengan teman untuk ngobrol disana selepas jam kerja, saya lebih awal menunggu teman saya sambil chat, saya memilih duduk menghadap jalan tepat berhadapan dengan lorong yang biasanya Pak Patty lalui kalau teman-teman ingat dulu ada pohon mangga. Mungkin karena dilihat saya duduk sendiri, pemilik warung datang temani saya ngobrol.
Sambil ngobrol saya duga pemilik warung pasti penasaran dengan jawaban saya waktu itu sehingga dia akan bertanya lagi dalam versi yang politis. Ternyata dugaan saya benar pertanyaan itu pun muncul. Untuk mengurangi rasa penasarannya, saya jawab lagi singkat ‘apapun yang kalian sajikan di TEMPAT ini bagi saya semuanya enak’.
Tapi jujur teman-teman, saat duduk di sana dan menatap ke arah sekolah, seolah-olah suasana 29 tahun lalu terulas kembali dan saya benar-benar tenggelam dalam suasana itu.membayangkan Daniel Anggiluli dan Paulus Inggamer jalan sambil reggae, Otis Asem dengan gaya ikat kemejanya, Septon dengan gaya menyanyi, Boy Ruamba, Gideon Hombore, Untung Tamsil, Saskia dengan dengan khas kaos kaki yang sampai lutut. Kita pulang sekolah langsung dengan kawan Denis menuju Aspol ukit parang pakai kikir. Rombongan srikandi kelas, Marice, Yani, Brenda, Yuni, Andriani, Alce ,serta srikandi yang lain yang tidak sempat sebutkan namanya masing-masing dengan khasnya, menikmati suasana ini benar-benar mereduksi tekanan di kepala yang seharian diforsir untuk urusan pekerjaan menjadi netral dan segar.
Saya membayangkan andaikan pemilik warung mengerti tentang suasana ini, mungkin saja harga sajiannya akan mahal untuk saya karena mereka telah mengerti ketergantungan saya.
Jika musim pandemi ini mulai berkurang dan teman teman punya waktu, mari kita nikmati suasana di tempat itu. Saya yakin teman teman akan tertawa ingat kenangan masing masing 29 tahun lalu.
(Redaksi)
Komentar