oleh

Kisah DPRD Lembata yang Dituduh Rampas Tanah Mama Regina

-Daerah-484 views
INBISNIS.ID, LEMBATA – Berita tentang salah satu Anggota DPRD Lembata, Fraksi PDI Perjuangan atas nama Fransiskus Gewura Langobelen merampas tanah di Lusikawak, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, NTT, milik Mama Regina Jaga Tukan sebagaimana dimuat media Pos Kupang (13/11/2021) dengan judul Kisah Regina Tukan, Petani Kecil di Lembata yang Tanahnya Dirampas, menyita perhatian publik.

Ditemui di kediamannya, Jumat (19/11) di Tujuh Maret, Kelurahan Lewoleba Tengah, Fransiskus Gewura Langobelen berkisah bahwa tidak benar dirinya merampas tanah seperti dituduhkan atas dirinya.

Konon, tanggal 27 Agustus 1954 Yang Mulia Vikaris Apostolik Larantuka mengirim surat permohonan dengan Nomor : II/2E/A4  dan susulan kedua tanggal 22 Maret 1955 dengan nomor yang sama. Isinya meminta tuan-tuan tanah agar menyediakan tanah untuk kepentingan Keuskupan Larantuka. Surat ini ditanggapi baik oleh Ambrosius Waleng Roma, Abdulah Kewait Genape, dan Servasius Suban Agon.

“Tanah diserahkan kepada Wakil Sekretaris Apostolik Larantuka atas nama Johanes V Asten, Deken Lomblen pada tanggal 31 Januari 1954 di Lewoleba dan pada 17 Juni 1955 diadakan pertemuan di Lewoleba bertempat di rumahnya S.S  Rewot untuk membuat surat perjanjian dan membicarakan luas tanah yang mau diserahkan kepada Vikaris Apostolik Larantuka yang dihadiri oleh Wakil Pemerintah Swapraja, Don Gaspar Dias Viera Godinho, A.W. Swapraja  F.M. Bl. de Rosari, Raja II/Kepala Hamente Larantuka. Sedangkan para  tuan tanah yang hadir yakni, J. Atahala Hadung Boleng, Ambrosius Waleng Roman, Abdulah Kewait Genape dan penduduk kampung Lewoleba selaku yang berhak atas tanah di Lewoleba. Hadir pula Deken Lomblen selaku Wakil J.M Vikaris Apostolik Larantuka, A. W. Lomblen selaku Saksi”, terang Frans Gewura.

Selanjutnya ia berkisah, dalam pertemuan itu menghadirkan beberapa kesepakatan, salah satunya yakni tanah seluas 80 hektare oleh tuan tanah dan penduduk Kampung Lewoleba dihadiahkan kepada yang Mulia Vikaris Apostolik Larantuka Gabriel Manek, SVD dengan tidak meminta ganti  rugi atau pembayaran atas tanah.

“Dalam perjalanan ternyata Misi (Keuskupan Larantuka) tidak mampu membayar pajak kepada negara, maka melalui utusan dari Keuskupan Larantuka menghubungi para tuan tanah untuk mengembalikan sebagian tanah di sebelah barat dari Misi. Selanjutnya oleh B. L. Uran bersama tuan tanah yang lain melakukan pertemuan dengan utusan Keuskupan Larantuka dan Wakil dari Deken Lomblen di Rumahnya S.S. Rewot untuk menerima kembali sebagian tanah di bagian Barat dari Misi yang dikembalikan oleh Vikaris Apostolik Larantuka secara lisan tanpa dokumen tertulis”, beber Frans Gewura Langobelen.

Ia menerangkan bahwa pada tahun 1970-an terbentuklah IPP (Ikatan Petani Pancasila) beranggota 25 orang, yang salah satu anggota IPP dibawah koordinasi Pit Kepata Karangora yakni Bapak Antonius Belolu Langobelen, ayahnya Fransiskus Gewura Langobelen.

“Semua anggota IPP berkeinginan memiliki tanah untuk pertanian, maka mereka meminta Bapak B. L. Uran selaku tuan tanah dan juga sebagai Kepala Desa agar tanah yang dikembalikan Misi Keuskupan Larantuka itu dibagikan kepada anggota IPP sebagai Lahan Pertanian. Permintaan ini disambut baik oleh Bapak B. L. Uran, maka dibawa koordinasi Pit Kepata Karangora membagi tanah tersebut kepada 25 anggota IPP, dengan luas kurang lebih satu hektar per orang”, kenang Fransiskus Gewura Langobelen, mantan Camat Nubatukan.

“Dengan demikian, maka tidak benar Regina Jaga Tukan menerima tanah dari Misi. Pembagian tanah hanya kepada anggota IPP. Regina Jaga bukan anggota IPP. Jikalau ditinjau dari sisi usia maka tahun 1970, Regina Jaga baru berusia 14 Tahun. Misi tidak pernah membagi tanah kepada Anggota IPP. Tuan tanahlah yang memberikan tanah itu kepada anggota IPP melalui Pit Kepata Karangora. Penyerahan tanah itu hanya sekali yakni tahun 1970”, tandasnya.

Setelah tanah di Lusikawak dibagi-bagikan kepada 25 orang anggota IPP, tahun 1980 Mama Regina Jaga meminta menggarap tanah di Lusikawak. Permintaan itu ditujukan kepada ayah Fransiskus Gewura Langobelen, alm. Antonius Belolu Langobelen.

“Yang pasti bahwa Mama Regina meminta garap (tanah) di Bapak Antonius Belolu Langobelen pada tahun 1980. Setelahnya, tahun 1985 yang bersangkutan (Mama Regina) keluar daerah untuk merantau. Tahun 1987, saudara Blandinus Laba minta Bapa Antonius Belolu untuk garap di lokasi itu. Namun, karena cukup luas maka dia hanya bekerja sebagian lokasi di sebelah utara sampai sekarang. Tahun 1989, Mama Regina Jaga minta Bapak Antonius Belolu untuk kerja lagi di lokasi yang sama bagian selatan”, lanjut Frans Gewura.

Kembali ia mengisahkan, untuk kepastian kepemilikan tanah itu, pada tahun 1989, ayahnya, Antonius Belolu Langobelen meminta dirinya mendata tanah tersebut berdasarkan Instruksi Gubernur No. 4 Tahun 1989 tentang Pendataan Tanah Warga Masyarakat. Namun, pada tahun 2007, Mama Regina Jaga mengusulkan pensertifikatan tanah tanpa sepengetahuan Antonius Belolu. Karena Mama Regina Jaga statusnya penggarap, maka Antonius Belolu membatalkan permintaan pensertifikatan oleh Mama Regina Jaga.

Fransiskus Gewura Langobelen bertutur bahwa tahun 2010 silam, berlokasi di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Lembata, dilakukan mediasi antara dirinya dan Mama Regina Jaga disaksikan oleh para saksi dan beberapa anggota IPP.

“Keputusannya bahwa tanah itu milik Bapa Antonius Belolu Langobelen jadi bisa diproses sertifikatnya. Sementara, Mama Regina Jaga sebagai imbalan atas jasanya menggarap akan ditunjukkan sebuah lokasi di Lusikawak sebagai lahan pengganti”, katanya.

Keputusan itu dituangkan dalam sebuah berita acara yang ditanda tangani semua pihak. Namun, Mama Regina Jaga mempersoalkan kembali isinya sebab menurutnya, ia tidak tahu tentang berita acara itu.

Tahun 2011, BPN Kabupaten Lembata menerbitkan sertifikat atas nama Fransiskus Gewura Langobelen berdasarkan berita acara mediasi dan surat Instruksi Gubernur No 4 Tahun 1989. Fransiskus Gewura mengaku dirinya membayar pajak tanah itu baru setelah disertifikat.

“Sebelumnya tidak dibebankan pembayaran pajak karena belum disertifikat. Usia garap yang bersangkutan (Regina Jaga Tukan) atas lokasi dimaksud kurang lebih 25 tahun, itu pun tidak beruntun karena yang bersangkutan pernah tinggalkan saat keluar merantau, kembali minta garap lagi”, tutup Frans Gewura.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *