INBISNIS.ID, Borong – Mengenal wilayah Colol yang terletak di Kecamatan Lamba Leda Timur, Manggarai Timur, NTT, rupanya tidak asing bagi semua kalangan.
Anda tentu mengenal Colol karena potensi sumber penghasilan komoditi kopi terbaik dimata dunia. Orang Colol memang identik dengan kopi. Wilayah ini termasuk perkebunan kopi tertua di Manggarai.
Namun, dibalik komoditi kopi Colol mendunia, sebuah tragedi pada tahun 2004 silam pemerintah Manggarai dibawah rezim Anton Bagul menyelenggarakan kampanye “penertiban kawasan hutan”. Peristiwa ini tentu dijadikan sebagai historis untuk masyarakat Colol.
Tokoh masyarakat Biting Desa Ulu Wae, Yosef Danur, kepada wartawan, pada Selasa (30/11/2021), mengatakan, dalam pandangan bupati waktu itu, petani telah melanggar tapal batas, memanfaatkan kawasan hutan untuk membudidayakan beragam tanaman komoditi kopi. Namun, kata Yosef, petani rupa memiliki kacamata lain. Mereka hanya menghormati tapal batas lama. Tapal batas baru hasil rekonstruksi 1993 tidak mereka akui sebab ditetapkan tanpa sepengetahuan petani dan mencaplok lahan perkebunan petani.
Lanjutnya, sejak saat itu, pemerintah mengambil langkah tegas, melakukan pembabatan tanaman kopi, di seluruh wilayah Colol.
Pada Selasa 9 Maret 2004, Bupati Anton Bagul memimpin sendiri patroli ke kawasan kopi di Colol. Dua perempuan dan 5 lelaki Colol ditangkap di kebun mereka saat sedang menggali ubi untuk pakan babi.
Dikisahkan Yosef, di Pocoranaka, terutama di Desa Rendenao dan Desa Uluwae yang meliputi empat anak kampung besar yaitu; Colol, Biting, Tangkul, dan Welu, yang seluruhnya lebih dikenal sebagai masyarakat Colol, rakyat melakukan aksi pagar betis untuk melindungi hutan kopi mereka dari pembabatan lanjut.
Dikatakannya, polisi waktu itu berupaya membubarkan aksi pagar betis itu dengan menembaki mereka tetapi tidak satupun peluru dapat melukai rakyat.
Mungkin saat itu yang ditembakkan adalah peluru hampa. Sebaliknya, tiba-tiba dari dalam hutan keluar sepasang babi hutan, melewati celah kaki rakyat dan segera menerjang barisan polisi, preman bayaran, dan operator mesin sensor. Aparat dan preman bayaran terpaksa membubarkan diri.
“Pada saat itu koordinator petani sedang melakukan perbincangan dengan aparat kepolisian ketika letusan tembakan pertama itu terdengar dan mengenai paha seorang petani yang sedang turun dari truk,” jelas Yosef.
Lebih jauh, dijelaskan Yosef Danur, pada Rabu 10 Maret 2004, perkisaran ratusan petani kopi dari empat anak ampung itu berangkat ke Ruteng ibu kota Kabupaten Manggarai untuk menuntut polisi membebaskan ibu, istri, dan saudara-saudari mereka. Di Mapolres, pasukan polisi sudah siaga dengan bersenjata tempur telah menunggu.
Namun, situasi saat itu di lapangan tidak stabil petani panik dan berlarian. Ada yang berlari menjauh dari mapolres, ada juga yang mengikuti arahan orang tak dikenal di dalam mapolres untuk berlari ke belakang gedung utama Mapolres.
“Beberapa orang kena tembakan dan tewas saat itu. Sepasang Bapak Anak tewas. Kelak di pengadilan, kepolisian telah mempersiapkan pembelaan diri bahwa mereka melakukan itu karena petani hendak menguasai gudang senjata. “Ini dalil mereka,” kata Yosef Danur.
Sebagian juga terkena tembakan dari belakang ketika telah ratusan meter jauhnya dari Mapolres. Petani-petani itu tidak ditembak ketika berada dalam keadaan panik di Mapolres. Sebagian besar ditembaki saat berlarian membubarkan diri menjauh dari Mapolres atau mengikuti arahan orang di dalam Mapolres untuk berlari ke halaman belakang Mapolres.
Pada saat warga Colol menggelar unjuk rasa, berselang beberapa saat kemudian terjadi kericuhan setelah polisi melepaskan tembakan ke arah warga yang menyebabkan enam orang meregang nyawa. Lima orang meninggal di tempat, satu masuk rumah sakit. Korban luka-luka 28 orang, tiga di antaranya mengalami cacat seumur hidup.
“Korban 10 Maret 2004 di Mapolres Manggarai ada 6 orang meninggal, mereka diantarannya; Stefanus Magur, Maksimus Tio, Yoseph Tatuk, Frans Atu, Vitalis Jarut, dan Dominikus Ampu. Sedangkan yang mengalami cacat berat ada 28 orang yang kemudian belakangan ada 6 orang lagi meninggal akibat cidera berat dari peristiwa saat itu, diantaranya; Yosep Dabuk, Martinus Dong, Rafael Rongkas, Petrus Embok, Nabertus Lon dan Sebastianus Todi. Kemudian yang masih hidup dan cacat; Dedi (kaki di amputasi), Paulus Sering, Vion Verhien, Lensi Nardi, Bedi Sumardi, Yosef Rasul, Maksi Sarjon, Frans Sefnat, Martinus San, Stanis Harsan, Benyamin Handi dan Vinsen Kabut,” jelas Yoesef Danur.
Dijelaskannya, pengaduan ke Komnas HAM pada saat itu adalah tindakan pelanggaran HAM berat. Namun dalam rekomendasi akhir, tindakan tersebut kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) biasa.
“Sehingga mantan kapolres Manggarai AKBP Boni Tampoi selaku yang bertanggungjawab perintah tembak di proses di peradilan umum di pengadilan Negeri Kupang degan putusan bebas degan dalil pasal melakukan penembakan demi membela diri,” kata Yosef.
Sehingga putusan ini menurut Yosef, berdampak rusaknya rasa keadilan masyarakat adat Colol dengan kesan penerapan hukum di negara ini tajam ke bawah tumpul ke atas, lantaran hingga kini proses hukum bagi pelaku dan korban pada peristiwa itu diabaikan.
Selain delik hukum bagi pelaku dan korban tragedi Colol berdarah, Yosef Danur, pertanyakan tindak lanjut dari peraturan daerah (Perda) No 1 Tahun 2018 tentang pengakuan perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat.
Yosef Danur, menerangkan, bahwa Pemda Manggarai Timur telah mempromosikan kopi Colol. Namun, sebagai bahan pertimbangan, tentu ada hal penting yang harus diselesaikan.
Kata Yosef, atas nama Masyarakat Adat, perlu diketahui di Colol masih tersimpan kasus besar dengan pemerintah tentang sengketa tanah adat.
“Sengketa tanah adat sekitar 29 lingko atau 1.000 lebih HA yang masih tumpang tindih dengan kawasan TWA Ruteng atau KSDA, tanah kopi colol itu kan terletak di tanah pal, kalaupun kopi Colol terus dipromosikan nanti, terus status tanah bagaimana?,” tanyanya.
Lebih lanjut Yosef menjelaskan, Perda No 1 tahun 2018 hingga kini belum berlaku efektif karena belum ada Peraturan bupati (Perbub).
Perda No 1 tahun 2018 diterbit bermaksud untuk; Pertama, meningkatkan kemampuan Masyarakat Hukum Adat dalam menjalankan kehidupan sosial politik, kultural, dan spiritual. Kedua, wilayah adat adalah satu kesatuan geografis dan sosial, berupa tanah, air, beserta sumber daya alam yang ada dengan batas-batas tertentu secara turun temurun dan berkelanjutan dikuasi, dihuni, dikelolah dan dimanfaatkan oleh masyarakat hukum adat sebagai penyangga sumber-sumber penghidupan yang diwarisi oleh leluhur atau melalui kesepakatan Masyarakat Hukum Adat lainnya.
Ketiga, tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu Masyarakat Hukum Adat tertentu yang pengelolaan dan pemanfaatannya bersifat komunal, kolektif, maupun perorangan serta masih didasarkan pada pranata adat dan pemerintahan adat.
Lanjut Yos, sedangkan hak dan kewajiban Masyarakat Hukum Adat yaitu, hak atas spiritual dan kebudayaan, hak atas lingkungan hidup, hak untuk menjalankan hukum adat dan peradilan adat dalam penyelesaian sengketa terkait dengan hak adat dan pelanggaran atas hukum adat, hak atas tanah ulayat, wilayah adat dan sumber daya alam.
Di sisi lain, dalam UUD 1945, Pasal 18B ayat 2, menyebutkan negara mengakui, menghormati, melindungi, kesatuan masyarakat hukum adat selama masih adat dan masih hidup.
Namun kenyataanya negara telah melampaui kapasitas konstitusi dari UUD 1945 sebagai dasar negara, sampai hari ini hak-hak adat tersebut masih saja tercerabut dan penting adanya Perda pengakuan serta perlindungan hak-hak masyarakat di Manggarai Timur untuk terlindunginya kearifan lokal komunitas masyarakat adat.
(Hendratias Iren/Redaksi)
Komentar