INBISNIS.ID, LABUAN BAJO – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) akhirnya menunda sementara pemberlakuan kenaikan tarif masuk Pulau Komodo sebesar Rp 3,7 juta hingga Desember 2022. Hal ini disampaikan oleh Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat pada Senin (8/8/2022).
Keputusan ini disambut baik oleh seluruh pelaku pariwisata di Kabupaten Manggarai Barat, terutama para Pengurus Asosiasi Pariwisata dan Tokoh Masyarakat yang pada saat bersamaan menggelar pertemuan di Hotel Prundi Labuan Bajo untuk membahas dampak yang terjadi akibat kenaikan tarif masuk Pulau Komodo.
Rudi Sembiring Meliala sebagai Ketua Umum Media Online Indonesia (MOI) dan juga selaku Wakil Ketua Kadin Kabupaten Manggarai Barat menyampaikan, kami sangat mengapresiasi keputusan Gubernur NTT untuk menunda kenaikan tarif dan berharap beliau bersedia datang ke Labuan Bajo untuk bertemu dengan seluruh stakeholder pariwisata dan kelompok-kelompok masyarakat guna berdiskusi bagaimana agar program-program pemerintah bisa turut didukung dengan baik.
“Tentu ini kabar baik bagi kita semua setelah penolakan keras dari masyarakat beberapa waktu lalu yang berdampak pada turunnya jumlah wisatawan. Oleh karena itu ada waktu sekitar 6 bulan untuk mensosialisasikan dan melihat dengan baik apakah kenaikan tarif ini memang menjadi kebutuhan untuk diberlakukan,” ungkapnya, Senin (8/8).
Salah seorang Tokoh Agama sekaligus pemerhati pariwisata, sosial dan lingkungan hidup Pater Marsel turut menyampaikan pandangannya dalam beberapa hal. “Waktunya tidak tepat karena baru selesai pandemi dan keadaaan masih sangat sulit serta prosedur kenaikan harga tidak dijalankan dengan benar karena tanpa melalui forum musyawarah sesuai kearifan lokal masyarakat Manggarai yang dikenal dengan “Lonto Leo”,” ujarnya.
“Harapannya tahun ini dijadikan tahun sosialisasi untuk melihat urgensinya kenaikan tarif Komodo dan apresiasi sebesar-besarnya kepada Gubernur NTT yang telah menunda kenaikan tarif,” imbuhnya.
Sementara seorang pelaku pariwisata lainnya di Labuan Bajo Fery Adu menyampaikan, selain memperhatikan kepentingan ekonomi masyarakat dan ekosistem, kebijakan di beberapa spot yang telah terjadi tindakan destruktif yang membahayakan maka Carrying Capacity harus dilakukan dengan menggunakan standar analisis konservasi yang jelas, bukan dengan cara emosional.
Turut hadir dalam pertemuan tersebut untuk berdiskusi dan melihat secara positif dampak kenaikan ini, Kandy Latubatara (Komunitas UMKM), dari unsur Persatuan Hotel dan Restaurant Indonesia (PHRI), Asosiasi Usaha Perjalanan Wisata (ASITA), pelaku Usaha Penginapan serta pelaku Usaha Kapal Wisata.
(Redaksi)
Well, Silahkan tulis pendapatnya di kolom komentar ya.
Komentar