oleh

Advokad dan Konsultan Hukum, Agung Intan: Sangsi ‘Kesepekang’ Bertentangan dengan HAM

-Daerah-665 views

INBISNIS. ID – DENPASAR, Soal aturan adat ‘Kasepekang’ yang saat ini masih berlaku di tengah masyarakat. Advokad dan Konsultan Hukum, Agung Intan Ary Dwi Mayasukma menilai saat ini aturan tersebut sudah tidak layak diterapkan karena bertenangan human rights.

Menurtnya, aturan ‘Kesepekang’ tersebut sangat jelas melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), yang di mana hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi.

Dikatakan, maka demikian pula dengan aturan pengucilan atau ‘Kasepekang’ bagi warga desa adat yang dianggap melanggar aturan adat dan tentu ini sangat melanggar UU yang berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM).

“Dalam kasus ‘Kasepekang’ misalnya dilihat dari teori sebab akibat seharusnya sebelum menjatuhkan sanksi. Ditelusuri dulu apa yang menjadi penyebab pelanggaran. Lalu, kenapa bisa terjadi,” ujar Agung Intan Ary Dwi Mayasukma, S.H., M.H, pada (25/2/22).

Diketahui, ‘Kasepakang’ adalah istilah dari sanksi adat, yaitu berupa pemberhentian sementara sebagai anggota banjar dan desa pakraman. Kemudian yang terkena sanksi ini tidak berhak mendapatkan panyanggran atau pelayanan serta bantuan banjar, dan desa pakraman yang ditandai dengan tidak mendapatkan arah arahan dan suaran kulkul.

Agung Intan Ary Dwi Mayasukma, menuturkan sanksi kasepekang sudah tidak layak lagi diterapkan oleh desa  terhadap warganya yang melanggar aturan adat. Sanksi kasepekang yang mengandung arti dan makna sama dengan pemberhentian sementara sebagai krama desa. Dapat dikenakan, berdasarkan paruman atau rapat banjar/desa pakraman kepada krama desa yang terbukti secara meyakinkan membangkang terhadap awig–awig. Pararem dan kesepakatan banjar atau desa pakraman setelah usaha penyelesaian melalui prajuru atau kertha desa yang dilakukan dianggap gagal, dan setelah beberapa sanksi lain yang juga dikenakan berdasarknan paruman tidak membuahkan hasil.

“Sanksi kasepekang sudah tidak layak lagi diterapkan oleh desa  terhadap warganya yang melanggar aturan adat. Sanksi kasepekang yang mengandung arti dan makna sama dengan pemberhentian sementara sebagai krama desa,” katanya.

Ia mengatakan, sanksi lain seperti peringatan lisan dan tertulis oleh prajuru banjar atau desa pakraman, arta danda atau denda berdasarkan awig awig yang berlaku. Selama dalam masa kasepekang yang besangkutan tidak berhak mendapatkan panyanggran atau pelayanan/bantuan seluruh anggota banjar dan desa pakraman yang ditandai dengan tidak mendapatkan suara kulkul, dalam segala aktivitas yang dilakukan di desa pakraman setempat, baik dalam suasana suka atau syukuran, kasucian atau upacara agama, kalayu sekaran atau kematian, maupun kapancabayan atau tertimpa musibah.

Agung Intan menuturkan, sanksi adat kasepekang berlaku untuk jangka waktu paling lama tiga paruman banjar atau paruman desa pakraman yang mengagendakan pembahasan perihal pengenaan sanksi kasepekang tersebut. Apabila dalam masa tiga paruman tersebut pihak yang dikenakan sanksi kasepekang tidak memenuhi segala kewajiban yang dibebankan.

Agung Intan Ary Dwi Mayasukma, S.H., M.H, yang saat ini sedang menempuh pendidikan S3 Doktor Ilmu Hukum di Universitas Tri Sakti Jakarta, meneruskan “maka yang bersangkutan dapat diberhentikan atau kanorayang sebagai krama desa, dan tidak berhak menggunakan segala fasilitas milik desa pakraman, kecuali yang bersangkutan kembali menjadi krama desa, setelah memenuhi segala persyaratan sesuai dengan awig awig yang berlaku,” jelasnya.

Agung Intan Ary Dwi Mayasukma juga menuturkan, prajuru banjar atau prajuru desa pakraman wajib membina krama desa yang kasepekang agar bisa kembali melaksanakan swadharma sebagai krama desa, selanjutnya prajuru banjar atau prajuru desa pakraman tidak berhak merekomendasikan kepada penyelenggara pemerintahan untuk mengurangi hak – hak administratif krama desa yang kasepekang sebagai warga negara.

“Hak krama desa yang kasepekang selama dalam masa kasepekang, pihak yang dikenakan sanksi kasepekang masih berhak untuk memanfaatkan setra atau kuburan untuk melaksanakan upacara penguburan/pembakaran jenazah atau pitra yadnya tanpa panyanggran banjar atau desa pakraman,” ucap Agung Intan Ary Dwi Mayasukma.

Warga yang kasepekang bisa memanfaatkan tempat suci dan fasilitas lain milik banjar atau desa pakraman seperti halnya krama desa lainnya, dengan sepengetahuan prajuru banjar atau desa pakraman. Memanfaatkan tempat suci untuk tujuan khusus, dilakukan atas seizin prajuru banjar atau prajuru desa pakraman dituntun oleh pamangku di tempat suci bersangkutan.

“Masa kasepekang dianggap selesai sesudah pihak yang dikenakan sanksi memenuhi segala kewajiban yang dibebankan kepadanya, dan ngaksamaang raga atau meminta maaf kepada krama banjar atau krama desa pakraman melalui prajuru banjar atau prajuru desa pakraman,” jelas Agung Intan Ary Dwi Mayasukma.

Agung Intan Ary Dwi Mayasukma mengharapkan, supaya banjar atau desa untuk mencabut sanksi kasepekang, dan pihak desa adat segera melakukan revisi atas awig awig yang masih menerapkan sanksi kasepekang. Saat sekarang ini sanksi kasepekang sudah tidak sesuai dengan situasi saat ini, lebih baik sanksi yang diberikan berupa denda.

“Sebagai krama Bali, mari kita sagilik saguluk salunglung sabayantaka paras paros sarpanaya,” tutupnya.

(Dionisius Harum/Redaksi)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *