INBISNIS.ID, LARANTUKA – Sekumpulan ibu-ibu penjual buah pinggir jalan Trans Larantuka-Maumere sigap menawarkan ragam jenis buahan segar saat pelaku perjalanan menghampiri lapak Rumah Kalwat berukuran 9×2 meter persegi itu.
Dibawah sejuknya rindang pohon kopi dan pohon bayam milik PT Rerolara, sebuah perusahan perkebunan milik keuskupan Larantuka, Kabupaten Flores Timur, termaktub seberkas harapan agar barang jualan laku terjual.
Elisabet Kuna Namang (64), salah satu penjual menuturkan, lapak Rumah Kalwat dihuni oleh 19 penjual orang. Sebagian besar penjual merupakan warga Desa Hokeng Jaya, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur.
Karena jumlahnya belasan, mereka kemudian membentuk kelompok bernama Tobo Laran. Kata Tobo Laran merupakan bahasa daerah Lamaholot yang berarti duduk bersama sambil mencari rejeki.
“Kami sekarang sudah punya Kelompok namanya Tobo Laran. Kelompok ini hasil kesepakatan kami untuk kepentingan semua anggota,” ujarnya saat disambangi wartawan, Selasa (26/04/2022).
Setelah terhimpun dalam kelompok, mereka lalu menyisihkan sedikit hasil keuntungan untuk membangun lapak mini yang hanya bertahan selama empat tahun. Ketika cuaca buruk di tahun 2015, Lapak swadaya itu hancur tertimpa pohon bayam.
Diwaktu bersamaan, komplotan penjaja buah itu kembali membangun Lapak baru menggunakan uang pribadi. Lapak itu bertahan hingga sekarang dan beberapa diantaranya sukses menghantar anaknya bergelar sarjana.
Anastasya Puka (52), rekan Elisabet berkisah, anak sulungnya sukses bergelar sarjana di salah satu universitas di Kota Kupang. Hampir saban hari, ibu tiga anak itu terus berjibaku menjual buah, membantu sang suami menafkahi keluarganya.
Meski lapak swadaya cukup sempit, kata dia, mereka tak pernah saling cekcok. Metode penjualan yang diterapkan selalu adil tanpa menaruh unsur dengki.
“Kami semua ada 19 orang. Biar ukuran kecil, kami tetap kompak dan saling menghargai,” katanya sambil melebarkan senyuman.
Anselina Goang (64), penjual berikutnya memaparkan, omset jualan per hari tak menentu, tergantung jumlah pelaku perjalanan yang melintas. Saat pandemi covid 19 merebak, juga diberlakukan kebijakan PSBB dan PPKM, jualan sepi pengunjung hingga menanggung kerugian besar.
“Awal pandemi orang tidak beli makanya buah-buahan selalu rusak. Dapat 50 ribu per hari saja sudah syukur biar tanggung kerugian. Tapi sekarang sudah membaik kembali,” beber wanita usia 60 tahun itu.
Dipaparkannya, buah-buahan seperti pisang, advokat, rambutan, salak, pepaya, jeruk, diperoleh dari petani Desa Hokeng Jaya dan sekitarnya. Jika belum musim, mereka mencari pasok buah dari luar Kabupaten.
Aktivitas penjualan ibu-ibu itu dimulai sejak pukul 08.00 – 18.00 wita. Selama sepuluh jam, mereka tabah menanti datangnya pembeli. Saat matahari terbenam cukup dalam, mereka segera berkemas pulang.
(Redaksi)
Komentar