oleh

KPPAD Bali : Fenomena Gepeng Harus Diselesaikan di Tingkat Hulu dan Hilir

INBISNIS.ID, DENPASAR – Fenomena gelandangan dan pengemis (Gepeng) yang marak ditemui di sejumlah lampu lalu lintas dan objek wisata mulai meresahkan warga sekaligus para wisatawan. Hal ini terlihat dari kejadian beberapa hari lalu di objek wisata pantai Kuta, Badung.

Dimana para Gepeng yang berkedok sebagai penjual tisu, penjepit rambut, dan aksesoris, memaksa wisatawan untuk membeli barang dagangan, ketika tidak dibeli, mereka kemudian menodong sejumlah uang.

Menurut Ketua Komisi Penyelenggaraan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Bali, Ni Luh Gede Yastini, mengungkapkan, bahwa fenomena Gepeng mulai marak kembali di Bali, khususnya kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa, fenomena Gepeng sudah ada dari jaman dulu dan masih berlanjut sampai hari ini.

Terkait masalah ini, Ni Luh Gede Yastini, melihat bahwa ada dua hal yang harus dilakukan dalam menyelesaikan persoalan ini yakni penyelesaian di tingkat hulu dan hilir.

“Selama ini kita hanya fokus penyelesaian di hilir, maksudnya dimana mereka menggepeng atau dimana mereka berjualan melibatkan anak-anak ini. Tapi kemudian di hulu, ditempat asal anak-anak ini sebetulnya juga harus diselesaikan sehingga tidak banyak anak-anak ketempat lain melakukan tindakan-tindakan menggepeng, berjualan, mengemis, mengamen,” ungkap Ni Luh Gede Yastini saat ditemui di kantor KPPAD Provinsi Bali, Renon, Denpasar, Senin (26/04/2022)

Ni Luh Gede Yastini, juga melihat fenomena Gepeng ini sebagai bentuk eksploitasi terhadap anak, dimana menggunakan anak-anak untuk mendapatkan sebuah keuntungan secara ekonomi.

Oleh karena itu, KPPAD Bali, tengah mendorong dengan pendekatan aspek kultural yakni menghadirkan pararem perlindungan anak. Sehingga melalui Pararem Perlindungan Anak ini nantinya bisa menyelesaikan persoalan Gepeng di tingkat hulu dan hilir.

“Melalui pararem ini, dihulu kita berharap bahwa tidak ada yang keluar dari desa adat untuk menggepeng. Serta kemudian di tempat lain di daerah-daerah yang menjadi tujuan (hilir) itupun akan diperkuat dengan pararem bahwa tidak diperbolehkan untuk menggepeng, mengemis dan menggunakan anak-anak di jalanan,” ungkap Ni Luh Gede Yastini.

Ni Luh Gede Yastini, melanjutkan, bahwa pararem yang nantinya ditawarkan menyangkut dua hal. Pertama, agar tidak membawa anak keluar desa adat dengan tujuan menggepeng, mengemis, dan sejenisnya di jalanan dengan tujuan eksploitasi. Kedua, tidak ada anak yang mengempeng di seluruh desa adat di Bali

“Rencana kami akan segera serahkan konsep ini karena memang sudah selesai finalisasi untuk draf pararem perlindungan anak yang mencakup juga soal anak jalanan,” ungkap Ni Luh Gede Yastini.

Selain itu, ia juga menyoroti, pentingnya peran pemerintah daerah (Pemda) dimana anak-anak yang menggepeng ini berasal. Menurutnya, Pemda terkait harus melakukan asesmen terkait apa yang menjadi masalah sesungguhnya yang kemudian membuat anak harus menggepeng.

“Sehingga bisa dicarikan solusinya. Hal ini karena (fenomena gepeng) sudah puluhan. Jangan sampai pemerintah daerah (dihulu) justru mengabaikan. Misalkan bisa melakukan pemberdayaan dalam bidang ekonomi maupun pendidikan,” ungkap Ni Luh Gede Yastini

Terkait penangan sekarang ini , Ni Luh Gede Astini, mengungkapkan, hal yang bisa dilakukan adalah penangan yang humanis terhadap anak. Hal ini karena bagaimanapun anak-anaklah yang menjadi korban. Ia juga berharap jika ada masyarakat yang mengetahui siapa dibalik mobilisasi anak untuk menggepeng ini bisa segera dilaporkan.

“Karena ini sebetulnya bagian dari kejahatan dan kekerasan terhadap anak, serta tidak dibenarkan. Dalam undang-undang kita, anak-anak yang dipekerjakan pun itu ada batasan, tidak bisa orang mempekerjakan anak secara sembarangan. Indonesia pun sepakat bahwa di tahun 2022, Indonesia sudah stop pekerja anak tapi kan masih banyak,” ungkap Ni Luh Gede Yastini.

(Redaksi)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *